Postingan Ini Isinya Tiga Postingan.
tentang mencari bacaan, menikmati hidup, dan menghapus media sosial dari handphone.
__
Salah satu kebiasaan buruk gue ketika berkarya adalah, menganggap semuanya selesai ketika karyanya jadi. Ketika bikin video, misalnya. Gue pikir semuanya beres ketika videonya selesai diedit dan bisa ditonton dengan apik. Padahal, sebagai video internet, itu baru langkah awal. Tahap selanjutnya adalah membuat cover, upload ke internet, dan memasarkan karyanya.
Begitu juga tulisan.
Postingan ini misalnya, tanpa sadar udah gue anggap selesai ketika berhenti di tanda titik setelah kalimat terakhir. Padahal, tulisan ini masih harus gue masukin Substack, upload, pilih cover, masukin gambar, promoin tulisannya di media sosial lain dan balas-balas komentar.
Jadilah tulisan ini terbengkalai entah berapa lama, sampai kemudian gue menulis postingan lain, dan menulis postingan lain lagi.
Berhubung bingung mesti gimana tapi sayang juga kalo nggak gue post, jadi inilah dia.
Postingan yang isinya tiga postingan.
Selamat membaca!
Kalo Gini, Gue Harus Baca Di Mana?
__
Belasan tab Chrome masih terbuka ketika gue duduk di depan laptop.
Kemarin gue kepikiran satu ide menarik: menggunakan internet dengan metode lama, yaitu berselancar dari satu website ke website lain, sambil baca artikel random yang gue temukan.
Semenjak media sosial datang, cara kita menggunakan internet berubah seratus delapan puluh derajat. Kita yang semula terbiasa mencari informasi, lama-kelamaan menjadi user yang pasif. Sekarang, kita hanya diam, membiarkan teknologi membombardir kita dengan berbagai macam informasi.
Akibatnya, sekarang muncul istilah brainrot. Alias otak busuk. Ya, saking nggak pernah dipakainya, otak kita jadi kehilangan fungsinya sebagai alat berpikir dan malah membusuk.
Algoritma dan AI yang terlalu memanjakan kita perlahan-lahan membuat otak menjadi kehilangan kemampuannya. Kita bukan cuma kehilangan kemampuan mengolah informasi, tetapi kita bingung bagaimana caranya mencari informasi. Bahkan tidak jarang… sekarang kita tidak tahu apa yang kita inginkan.
Buka Google.
Liatin kursor kedap-kedip.
Bengong.
Gatau mau ngapain. Bingung mau cari apa dan di mana. Kalau istilah medisnya, kondisi ini disebut dengan… dongo.
Sekarang udah lima belas menit. Dan yang ada di kepala gue hanya, gue pengin baca sesuatu. Ya, gue pengin baca sesuatu. Gue pengin baca tulisan yang nggak perlu berat-berat amat, tapi bikin hati gue hangat.
Gue ingin baca tulisan yang dibuat oleh manusia, untuk manusia lain. Tulisan yang mengabaikan kaidah kepenulisan SEO, dengan judul yang bombastis dan struktur yang udah “kebaca” itu. Tulisan yang halaman website-nya tidak dipenuhi iklan, sampai-sampai mata gue keburu jereng duluan karena misahin artikel dengan iklannya.
Masalahnya, tulisan tentang apa?
Berhubung tidak tahu informasi spesifik yang pengin gue cari (misal, gimana membuat kentut menjadi bau anggur), gue mulai aja dari buka medianya dulu.
Hmmmm. Gue jadi kepikiran. Media apa ya yang masih aktif di Indonesia? Sewaktu bekerja dahulu, gue ingat ada satu website yang membahas soal topik seputar self-growth dan mindfulness. Gue juga ingat media ini menjadi wadah artis untuk menuangkan isi pikirannya. Mulai dari penulis, musisi, sampai aktor. Satu hal yang gue ingat adalah, logonya berwarna kuning. Tapi… namanya apa ya?
Hmmmm. Kuning… kuning… kuning… golkar… Bah… BENTAR. Kenapa jadi nggak fokus lagi gini woy?!
Setelah berusaha inget-inget, gue kebayang kalau dulu, gue nemu website itu dari salah satu acara Bukalapak. Namanya BukaTalks. Semacam Ted Talks yang dibuat oleh Bukalapak (ya masa sih pak?). Jadilah gue buka YouTube Bukalapak, masuk ke Playlist Bukatalks, dan mengecek video-video yang ada di sana. Semua demi mengingat nama website yang gue cari.
Gue melihat sederetan nama pengisinya. Mulai dari Eka Kurniawan, Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, sampai Dian Sastro. Di antara nama-nama ini, gue masih lupa. Siapa ya pembuat website yang aduhai itu? Aduh, otak gue buntu.
Agak familiar dengan nama Ben Soebiakto, gue klik di video itu.
Ternyata isi videonya adalah Ben Soebiakto membahas seputar industri kreatif. Duh, kayaknya salah deh. Harap-harap cemas, gue cari instagramnya, siapa tahu benaran dia, dan dia menaruh nama medianya di bio instagramnya.
Tapi nihil. Keterangan di bio-nya berisi akun ideafest, wahana kreator, dan semesta akademi. Tidak ada media yang gue maksud.
Udah kayak Jimmy Neutron, gue berusaha berpikir, dan berpikir, dan berpikir. Paling nggak gue nemu sesuatu yang berhubungan dengan ini deh. Di antara samar-samarnya ingatan di kepala gue yang mungil ini, gue malah kebayang Remotivi. Sebuah website yang mengkritisi soal cara-cara media di Indonesia menyebarkan informasi. Ini juga salah satu media yang suka gue baca sewaktu kerja kantoran dulu.
Begitu gue buka dan cek artikelnya, ternyata dia udah nggak update. Sedih. Padahal gue suka esai-esainya kayak gimana Media Menggambarkan Orang Desa Seperti Orang Kota Melihat Desa ini.
Di tengah membaca ulang beberapa tulisan Remotivi, di kepala gue muncul satu nama: Marissa Anita. (plis jangan tanya gimana cara otak gue kerja, emang random abis).
Gue nggak tahu kenapa nama mbak-mbak itu muncul. Kebawa intuisi, gue ketik namanya di Google dan berakhir ke website pribadinya: marissaanita.com
Beruntung, setelah pindah dari satu halaman ke halaman lain, gue menemukan ini:
Nama website yang gue cari di awal adalah greatmind.id.
Ternyata, Marissa Anita adalah salah satu penggagas media itu.
Gue langsung buka dan sedihnya, seperti Remotivi, greatmind juga udah gak update. Tulisan terbarunya terbit Juni tahun lalu.
Setelah menyusuri greatmind dan nostalgia bentar, sekarang gue buntu lagi.
Ke mana lagi ya di internet ini?
Kesel abis. Tanpa algoritma, buka internet sekarang jadi berasa kayak Ayu TingTing gini. Ke sana kemari mencari alamat~
Berhubung udah mentok abis, gue buka aja berbagai media yang gue tahu secara sporadis. Gue mampir ke Kumparan, tapi terlalu berita. Close. Mojok, entah kenapa lagi nggak pengin. Close lagi. Vice, malah dianya yang udah closed. Satu-satunya media berbahasa Indonesia yang masih aktif cuma whiteboardjournal. Dari sini gue menemukan Kei Imazu, ibu-ibu seniman Jepang yang tinggal di Bandung ini. Ada juga esai bagus dari Intan Sugianto yang membahas keresahannya tentang Kabur Aja Dulu.
Sayangnya, meskipun media Indonesia, kedua artikel itu ditulis dalam bahasa inggris.
Duh, kalo satu-satunya media yang tersisa adalah media sosial, yang ditulis pendek-pendek, bertujuan untuk mengejar views, dan opini orang-orang bisa dibentuk buzzer bayaran, apa gak serem ya masa depan nanti?
Oh Tuhan, kalo begini ceritanya, ke mana aku harus mencari bacaan bagus? Ke manaaa, ke manaaa, ke manaaaa~ #AyuTingTingIsInTheHouseYo #StresNyasarDiInternet
Karena udah kepalang bingung, gue menyusuri Subtsack, aplikasi favorit remaja masa kini. Di sana gue menemukan beberapa esai seru:
The Art of Asking -
What’s meant for you, will never pass you by -
Advice For Making Life More Whimsical & Joyful -
Dan, The Elegance of Digital Disappearance -
Gue juga baca 2 artikel seru dari Natgeo soal pengaruh motret dan foto terhadap memori:
How photo overload maybe warping our ability to remember - https://www.nationalgeographic.com/health/article/digital-smartphone-cameras-memory
How smelling roses could help you make stronger memories - https://www.nationalgeographic.com/health/article/sensory-memory
__
Jujur gue agak kecering (kecewa ringan) karena gak nemu media di Indonesia yang berisi hal-hal semacam ini. Kayak, dengan segini banyak penduduk, gak ada satupun media yang bisa bertahan?
Kalo lo, lagi baca apa belakangan ini?
Kresnoadi DH
Signing off.
The Summary of Menikmati Hidup.
__
Ada satu pertanyaan menarik yang masuk ke DM gue. Orang ini bertanya tentang gimana caranya gue bisa menikmati hidup di tengah kesemrawutan dunia yang semakin gajelas ini.
Tentu aja buat setiap orang, jawaban dari pertanyaan ini akan beragam. Gue yakin pasti ada jenis manusia yang mengaitkan pertanyaan ini dengan uang. Mungkin, beberapa yang lain akan coba menjawab dengan teori-teori filsafat dan psikologi. Tapi gue juga yakin, di luar sana ada sosok yang akan menjawab pertanyaan itu dengan jawaban fantastis. Seperti misalnya, “Ha? Nikmat??? Ohhh… MAKAN CABE!”
Sosok tersebut Pak Haji Bolot.
Ada hening yang panjang sewaktu gue membaca pertanyaan itu. Jawabannya bisa sesimpel, “ya gitu aja sih”, tapi juga bisa dijawab dengan sangat ribet kayak “y4 g1tTtcHuU d3CchH,,”
Kalau boleh serius, gue sendiri sepertinya tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu dengan satu hal pasti. Ya, tidak ada jawaban absolut untuk pertanyaan seperti ini. Gue yang sekarang, termasuk cara pandang dan prinsip-prinsip menjalani hidup di dalamnya, adalah kombinasi dari apa yang gue pelajari, pengalaman yang gue lalui, dan cara didik orangtua sewaktu gue kecil.
Tapi kalau gue rangkum, setelah tiga puluh tahun lebih nongol di muka bumi, mungkin ini beberapa summary gue dalam menikmati hidup:
1. Essentialism.
Mungkin udah banyak yang tahu kalau hidup gue sedikit banyak berubah setelah fase baca buku Essentialism-nya Greg McKeown. Dibanding sepuluh tahun lalu, saat ini gue lebih bisa memilih apa yang penting dan benar-benar esensial buat gue.
Dan sekarang gue hanya fokus di sana.
Gue nggak begitu mikirin apakah buat orang lain, hal-hal yang menurut gue penting itu masuk akal bagi mereka (misal, gue lebih memilih tidur untuk istirahat ketimbang nongkrong, atau kadang menulis semalaman itu lebih menyenangkan ketimbang tidur cepet. Ya, semua balik lagi ke kondisinya. Hehehe.).
Selesai baca buku itu, gue jadi sadar kalau di hidup gue, ternyata banyak banget hal-hal nggak penting dan hanya bersifat noise. Lucunya, hal pertama yang gue “buang” setelah baca buku itu adalah, meeting-meeting tidak efektif di kantor. Ketika tim terkecil gue tidak punya suara atau tidak perlu menyampaikan apa-apa, gue memilih menolak menghadiri meeting-nya dan meminta hasil meeting dikirim ke email aja.
Setelah gue pikir-pikir, nggak ada gunanya juga gue ikut meeting kalau cuma buat dengerin. Waktu kebuang, kerjaan utama nggak selesai. Kalau ada deadline, yang ada gue mesti lembur hanya demi nyelesaiin kerjaan yang bisa kelar kalau gak ikut meeting. Sebaliknya, kalo gak ikut, gue dan tim nggak buang-buang waktu, perusahaan dapat output lebih banyak karena tim gue bisa nyelesaiin pekerjaan tepat waktu, dan mereka yang meeting juga nggak ada ruginya. Semua senang, semua tenang.
Menemukan buku itu di masa kerja bener-bener mencerahkan gue sih. Apalagi karena gue juga mengamini bahwa menolak sesuatu itu bukan berarti membenci. Gue menolak meeting bukan berarti gue benci orang-orang yang ikut meeting. Menolak juga tidak akan membuat mereka benci kita. Setelah gue menolak, mereka justru respect dengan kita. Orang-orang di kantor jadi tahu kapan harus mengajak gue meeting, dan kapan memberitahukan hasilnya saja.
Yang perlu dicatat adalah, respect akan muncul jika cara kita menyampaikan penolakan juga baik. Jangan ketika teman kita ngajak, “Nanti meeting jam 3 sore ya.” Lalu kita jawab dengan, “Diam kau jablay!”
Gue juga setuju dengan gagasannya si Greg yang bilang bahwa kita selalu punya option. Pilihan itu, tentang apapun, selalu ada. Dia mengawang-awang di atas sana. Memutuskan untuk mengambil atau tidak pilihan itu adalah keputusan kita.
Again, buku ini berpengaruh buat gue bukan karena setelah baca hidup gue auto berubah menjadi happy tralala trilili. Tapi, setelah baca, gue coba untuk berani lakuin dan lihat hasilnya.
2. Mindfulness.
Praktik melakukan mindfulness juga gue lakukan semenjak gue bekerja di Ruangguru lima tahun lalu. Konsepnya simpel: kita harus sadar tentang apa yang sedang kita lakukan. Bahasa agamisnya, khusyuk. Ketika salat, kita tidak boleh memikirkan hal lain dan mesti fokus. Makanya, gak pernah liat, kan, orang yang abis rukuk, bukannya sujud malah lanjut roll depan.
Ide tentang khusyuk inilah yang gue coba terapkan di kegiatan lain selain ibadah.
Pertanyaannya, gimana caranya biar khusyuk?
Jawab: lakuin aja kayak lo salat.
Bukan. Ini bukan berarti lo mesti kerja sambil duduk di antara dua sujud. Pegel, Bos!
Tapi, sadar nggak. Ketika salat, kita selalu mulai dengan niat. Kita nggak bawa handphone (menjauhi segala gangguan), kita nggak takut ketinggalan, dan nggak lirak-lirik jam, resah sendiri.
Ketika salat, kita masuk ke mode flow state. Kita mindful. Kita diam dan khidmat. Kita menikmati ibadah kita sendiri, tanpa tergoda untuk melakukan gerakan auman macan dame unggerr.
Tips: di awal menerapkan ini, gue membantu diri gue dengan mendengarkan musik. Ketika jalan kaki, misalnya. Gue dengerin lagu pakai earphone sebagai background noise. Ini membantu gue fokus dengan apa yang gue lihat di sekitar. Ketika cuma pengin mikir, biar nggak kedistraksi dengan segala aplikasi yang ada di hape dan hal-hal lain di luar mikir, gue duduk, memundurkan kursi selangkah dari meja kerja, memasang headphone, lalu berpikir. Udah.
Dari hal-hal kecil gini, kemudian bergeser ke yang lebih besar dan penting. Lama-lama menyenangkan juga menyiram tanaman tanpa gelisah pengin tahu kenapa Ahmad Dhani kelakuannya makin absurd. Atau bekerja di timeline gue sendiri, tanpa khawatir orang lain udah upload video dame unggerrr.
3. The Stoic Dichotomy of Control.
Kayaknya udah banyak yang bahas ini, dan kata banyak orang, mempraktekannya jauh lebih sulit ketimbang mengetahui teorinya. Bahwa segala yang ada di muka bumi ini terbagi ke dalami dua hal: apa yang bisa kita kontrol, dan apa yang tidak bisa kita kontrol.
Dan kita cukup fokus pada apa yang bisa kita kontrol.
Anehnya, sejak lima tahun lalu, ketika tahu teori ini, gue malah jadi sadar kalau… ini yang memang gue lakuin sejak dulu. Dari dulu, gue selalu mikir tentang apa yang bisa gue lakukan ketimbang pusingin berbagai hal di luar kendali. Kayaknya, pertemuan pertama dengan teori yang mirip ini adalah di masa kuliah belasan tahun lalu, ketika baca blognya Pandji, yang membahas soal filosofi Save The Cow.
Membayangkan Save The Cow adalah begini: Ketika kamu sedang berjalan di pedesaan yang sepi. Lalu, kamu tiba-tiba menemukan seekor sapi yang terjebak di dalam lumpur hisap. Di situasi ini, satu-satunya hal masuk akal yang kita lakukan adalah MENGELUARKAN SAPI ITU dari lumpur. Nggak mungkin dong kita malah sibuk nanya ini sapi siapa, atau kenapa sapi itu bisa ada di sana. Yang ada keburu jadi wagyu itu sapi.
Makanya, setiap kali menghadapi masalah yang datang tiba-tiba, yang ada di kepala gue selalu bagaimana menyelesaikannya, ketimbang menyalahkan keadaannya. Selesaikan dulu masalahnya, baru kita gali lebih dalam. Karena di saat itu lah kita baru bisa berpikir dengan jernih. Sehingga, di masa depan, kita tahu cara mengantisipasi masalah tersebut.
Makanya, begitu berkenalan dengan prinsip stoic dichotomy of control itu, gue disadarkan lebih jauh: bahwa apa yang selama ini gue lakukan ternyata ada teorinya. Berkebalikan dari essentialism yang gue tahu teorinya dulu, baru gue coba lakuin. Jadilah gue tinggal mencari tahu variabel apa aja yang bisa gue kendalikan, dan fokus di sana.
4. Sonder.
Cerita tentang sonder ini pernah gue tulis di postingan yang ini. Pernah mengalami sonder yang begitu membekas ngebuat gue lebih punya empati ketimbang sebelumnya. For now, gue tidak menganggap orang-orang yang datang dan pergi di hidup gue sebagai “tokoh sampingan”. Tetapi, karakter utama yang tidak sengaja bersinggungan dengan gue di suatu titik kehidupan. Sekarang gue juga jadi suka menerka-nerka bagaimana hidup orang-orang lain. Kayak apa ya main daily tukang sol sepatu yang berkeliling itu? Ada cerita apa ya tadi malam, sebelum penjual sayur di pasar ini bertemu gue? Apa yang si ibu ini obrolin dengan suaminya sebelum mereka tidur? Kalau bisa di-rate, berapa ya rating hari ini dari bapak Gojek? Apa dia banyak ketemu penumpang yang menyenangkan? Apa anaknya di rumah menunggu jajanan yang dibawa dari jalan?
Membayangkan ini aja, anehnya membuat hidup gue terasa kaya. Kayak, anjirrrr dunia tuh rame dan berwarna dan seru banget ya orang-orangnya. Ada begitu banyak jenis manusia, cara mereka hidup, bahasa-bahasa yang berbeda. Kayak, SERU BANGET GASIH?!
Pengalaman umroh dan merasakan sonder itu benar-benar membuat gue belajar beradaptasi dan berempati pada orang lain. Gue, kalo jadi bos, amit-amit deh jangan sampe jadi bos yang egois dan menganggap karyawannya hanya roda perusahaan, dan bukannya manusia yang punya kehidupan yang utuh.
Walaupun kalau ditarik mundur, lagi-lagi, kemudahan dan kepekaan gue dalam menerima perasaan sonder ini juga “diasah” ketika gue bekerja dahulu. Sewaktu bekerja di Kumon, hampir setiap hari kami melakukan role play menjadi orang lain. Bagaimana rasanya menjadi guru yang mengawasi murid. Menonton berbagai video dan menganalisis mengapa murid tersebut menulis apa yang ia tulis di lembar jawabannya. Apa yang harus kita lakukan jika murid melakukan ini dan itu. Apa yang akan kita bilang sebagai orangtua jika anakmu bertindak begitu. Apa yang kamu sampaikan ke orangtua jika kamu punya tempat les baru di suatu tempat, dan mereka bertanya soal anu dan inu.
Praktik-praktik “put yourself in someone’s shoes” ini memang sudah gue latih di perusahaan tersebut. Jadilah ketika perasaan sonder ini muncul, gue lebih siap.
5. No Regret.
Gue terlahir sebagai anak yang tengil. I love challenges, and I do a lot of things, abnormally. Dan gue tidak pernah punya perasaan menyesal. Buat gue, nyesel tuh nggak ada serunya. Pertama, nyesel itu nggak ada untungnya. Kedua, nyesel itu nggak ada untungnya.
Bayangkan sebuah kasus kamu naik mobil bareng temen-temen lalu kena macet.
Di dalam mobil, kamu gondok. Nyesel setengah mampus liat TB Simatupang yang macetnya bikin mencret. Saking ga tahannya, kamu jerit-jerit kayak orang kesetanan, “Aduhhhh. Coba aja tadi kita naik motor ajaaaa. Coba tadi berangkat jam 5 subuhhh. Coba tadi kita lewat jalan lainn lalu terbang naik Buroq! Hihhh!! Pasti kejadiannya nggak bakal kayak gini?!”
See? Gak ada serunya kan nyesel? Penyesalanmu gak bikin jalanan tiba-tiba lancar, atau suasananya jadi menyenangkan. Satu-satunya yang menyenangkan dari kejadian tersebut adalah kalo ada temen lo yang nyumpel mulut lo pake tisu basah… yang udah dilap ke ketek.
Makanya, ketimbang menyesal, sebisa mungkin gue mengubah kalimat “harusnya tadi begini… harusnya tadi begitu…” menjadi, “oke, kalau gitu, nanti pas di masa depan nemu kasus gini lagi, gue bakal begitu…”
Udah. Simpel.
6. Comedy.
Gue suka banget komedi. Dari SMP, gue dan teman sekolah sering ngumpul ke rumah untuk menonton acara-acara komedi. Mulai dari Toples (Topan dan Lesus), sampai Sulap-Selipnya Mbah Darmo dan Mr. X. Kami bahkan sempat membuat drama komedi sebagai ujian praktek bahasa indonesia… dengan gue yang masuk ke dalam kelas naik T-Rex.
Sejak remaja, gue nontonin film-film komedi-nya Simon Pegg, Borat, sampai The Anchorman. Sewaktu kuliah, gue ngikutin dan belajar Stand Up Comedy (sampai akhirnya membuat blog komedi). Gue nontonin Mitch Hedberg, Aziz Ansari, Demetri Martin, Chris Rock, Ricky Gervais, Jerry Seinfeld, sampai Bo Burnham. Gue nontonin Comedians In Car Getting Coffee. Baca buku-bukunya Ellen Degeneres, Jenny Lawson, sampai Comedy Bible-nya Judy Carter. Lebih addict lagi, ada masanya gue mempelajari Schopenhauer demi mencari tahu kenapa orang tertawa dari sudut pandang filsafat. Kalau dilihat dari referensinya… ya, suka sama freak rada beda tipis sih.
Yang menyenangkan dari komedi adalah, komedi bisa membuat gue menerima kekurangan, dan lebih jujur terhadap diri sendiri. Hasilnya? Gue jauh lebih santai. Ketertarikan pada komedi ini juga bikin gue sadar satu hal: bahwa kita boleh serius untuk hal remeh temeh. Seiring berjalannya waktu, komedi membentuk gue jadi orang yang menyeriusi having fun. Bener gak ya itu kalimatnya? Hahaha. Gue yang sekarang jadi hobi mikir serius soal “besok mau bersenang-senang dengan cara apalagi ya?” Aneh, tapi bukan Kresnoadi kalo nggak aneh dan random. Hehehe.
7. Pneumothorax.
Enam tahun lalu, paru-paru kanan gue bocor. Gue hampir mati di BSD kalau supir Gocar gue nggak ngebut sampai rumah sakit. Gue masih ingat ketika gue di meja pendaftaran pasien di Eka Hospital, mbak-mbaknya yang melihat gue kesulitan bicara karena nggak bisa napas, langsung panik dan segera melarikan gue ke dokter Christoph, dokter spesialis paru. Dalam hitungan menit, gue udah duduk di kursi roda, dengan tabung gas segede gaban di bagian belakang. Si susternya mendorong gue bolak-balik ruangan dokter dan rontgen, sampai akhirnya gue pengin nangis ketika si dokter menjelaskan bahwa paru-paru kanan gue “udah abis”. Makin sedihnya ketika dia nanya, “Kamu harus dioperasi sekarang. Ini kamu beneran ke sini sendiri aja?”
Entah gimana penjelasan medisnya, tapi sekarang gue merasa lebih sensitif terhadap udara. Somehow gue bisa merasakan nikmatnya udara bersih, dan… auto bengek ketika udaranya kotor.
Yang pasti, kejadian itu bikin gue lebih bersyukur akan hidup. Hohoho.
8. Umur 30.
Mungkin ini rada lebay, tapi memasuki usia 30, pandangan gue soal hidup adalah begini: yang menang dalam hidup ini bukanlah yang punya uang segini atau segitu, atau yang meraih mimpinya duluan–-tapi yang lebih sering bersenang-senang.
Gue benaran jadi tahu kalau cara terbaik menjalani hidup adalah… ya dengan dinikmati aja. To live is to experience things. Dijalanin sambil dirasain bener-bener. Makanya beberapa tahun lalu gue sempat bikin video soal kepuasan. Bahwa yang gue inginkan sekarang bukan lagi kebahagiaan, tetapi kepuasan hidup.
9. Gimana kalau yang kita punya cuma hari ini?
Kita beneran gak pernah tahu apa yang terjadi besok. Beneran deh. Dunia ini tuh seajaib itu. Jadi gak ada yang tahu apakah setelah makan malam hari ini, kita bisa tidur nyenyak atau malah keselek tulang ikan lalu dirawat di rumah sakit. Apakah besok kita masih bisa main bola dan ketawa bareng seperti sore ini, atau sepulang dari sini malah ketabrak mobil anak pejabat dan semuanya berakhir dalam kabar duka.
It is so dark.
It’s true.
Yet, it’s really beautiful.
Ga ada yang pernah tahu rencana kita yang segede itu akan terwujud atau berakhir tragis. Tapi, ini dia kabar baiknya: kita masih punya hari ini.
Kita masih punya hari ini, jadi nikmatin apa yang sedang kita jalanin. Gak usah kebawa serius, tapi juga lakuin yang terbaik. Bersenang-senang dengan apa yang kita punya, karena bisa jadi besok kita udah nggak punya.
Dan sebuah catatan yang gue tulis di notes bulan lalu: mudah-mudahan kita tahu betapa mahalnya waktu, tanpa perlu kenal perpisahan.
Dalem abis.
__
Ini mungkin sembilan poin dan sedikit background tentang rangkuman cara gue menikmati hidup seperti sekarang.
Panjang. Tapi biar lo sadar bahwa semua ini ada latar belakangnya dan gak muncul begitu aja.
Lagipula, meskipun gue menulis ini, bukan berarti gue biksu yang suci dan selalu kalem. Gue juga jerit, “MONYET ASYUUUU!!!” ketika kelingking kaki kepentok meja.
Gue juga stres, stres banget malah kadang-kadang. Tapi, menulis poin-poin ini mungkin jadi salah satu cara gue untuk lebih mengenal diri. Untuk tahu bahwa apa yang gue jalani sekarang ada alasannya.
Kresnoadi DH
Cheers! \(w)/
Memberi Jarak pada Media Sosial
__
Sewaktu menulis ini, udah genap seminggu gue meng-uninstall semua media sosial yang ada di handphone. Artinya, udah seminggu ini handphone gue sepi. Artinya lagi, bentar lagi bakalan muncul kuntilanak di hape gue saking sepinya.
Pertanyaan: kenapa gue uninstall? Bukannya gue content creator? Bukannya kantor gue sekarang ada di platform-platform media sosial itu? Kok malah gue uninstall?
Jawab: justru itu.
Pas kerja kantoran dulu, gue juga mager ke kantor sering-sering. Hehehe.
Meng-uninstall media sosial bukan berarti gue meninggalkan media sosial sepenuhnya ya. Gue juga belom kaya-kaya amat sampai bisa kabur dari tempat kerja.
Gue cuma memberi jarak.
Berhubung gue bekerja di internet, khususnya media sosial, gue pengin punya “waktu khusus kerja”, yaitu ketika gue buka laptop. Artinya, kegiatan gue scroll medsos, upload, dan segala rupa, hanya gue lakukan melalui laptop.
Kalau diingat lagi, seminggu ini rasanya kocak juga sih.
Di hari-hari pertama, tangan gue gatel banget pengin install medsos tiap megang hape. Kayak, ngapain lagi coba megang hape kalo ga buka medsos? Ganti wallpaper pake foto mobil F1? Gak seru abis.
Godaan demi godaan gue lewati. Sekarang kalo boker gue udah nggak main hape, tapi megang bidet nyemprot nyemprot tembok. Kalo bosen di kamar, sekarang nyalain TV. Kalo bosen banget, gue nyalain TV sambil nyemprot tembok (namanya juga bosen).
Sebelum ada kamera nyorot muka gue sambil muter-muter dan gue teriak, “BOSAAAAAAANNNNNN??!!” sambil bersimpuh, gue coba cari akal.
Gue install game RPG, menggantikan media sosial. Paling tidak, main game melatih otot tangan dan otak masih mikir dikit. Lumayan, kan. Paling nggak, gue gerakin karakter sambil bunuh-bunuhin monster. Selain itu, kegiatan gue ketika megang hape cuma bolak-balik antara Pinterest, Shopee, Webtoon, dan Substack.
Untungnya, setelah seminggu ini gue mulai terbiasa. Terbiasa dengan kebingungannya. Terbiasa kalau mau “cari hiburan” lewat media sosial ya mesti duduk di meja, nyalain laptop. Jujur sedikit banyak ini membantu gue agar nggak sakau konten. Menariknya, gue menemukan fakta bahwa media sosial yang lebih sering gue buka adalah Instagram. Ya, entah kenapa gue nggak terbiasa buka TikTok di laptop. Gatau deh ini baik atau buruk. (Note: tapi kampret banget dah Instagram di laptop gabisa upload Story).
Main Instagram di laptop pun nggak bikin gue jadi kecanduan/lupa waktu. Karena… ya emang berasa nggak seru aja. Hehehe. Gabisa doomscrolling sambil tiduran dan ngayal kalo besok bapak kosan bakal masuk ke kamar dan berkata, “Bapak ada uang nih. Dua miliar. Ambillah.”
Yah, namanya juga ngayal.
Sekarang, kalau merasa bosan, gue memilih buka YouTube, lalu menyetel lagu dan beres-beres kamar. Kadang gue ambil buku walaupun cuma dibaca beberapa halaman aja.
Waktu juga terasa berjalan lebih seperti seharusnya. Nggak ada lagi adegan diem, diem, tahu-tahu fast forward udah dua jam aja geletak kayak mayat kambing. Efek samping dari ini adalah gue jadi mesti muter otak setiap ada waktu kosong. Beberapa hal “produktif” yang gue lakukan kemarin: belajar self defense dari guru jiujitsu di YouTube, nontonin tutorial dance couple, dan kentutin kamar berkali-kali.
Masih berkaitan dengan hal ini, beberapa hari lalu gue baca soal slow media movement, yaitu sebuah gerakan supaya kita menggeser cara mengonsumsi konten-konten di internet. Dari yang sebelumnya pasrah menerima konten yang algoritma berikan, menjadi aktif dan sadar dengan apa yang kita konsumsi. Artikelnya bisa dibaca di sini:
Finally,
Kresnoadi DH,
beneran cabut.
__
Kalau suka karya gue dan mau bikin gue rajin ngepost, bantu support dengan klik ini:
📝 Yang Gue Lakukan Belakangan Ini:
Nonton The Family Affair
Jalan-jalan ke Ubud dan kehujanan
Datangin pamerannya Yessi di Tegalalang tentang The Fruit That I’ve Become. Videonya bisa ditonton di sini: Video Reels The Fruit That I’ve Become.
Baca Buku The Traveler’s Tale
🧠 Yang Gue Pikirin Belakangan Ini:
Kenapa sih Instagram versi laptop gak bisa pasang link dan ribet untuk masukin Story. Woy, kerja yang bener ente, Mark!
Setelah datang ke pameran temen beberapa waktu lalu, di jalan pulang gue kebayang… kayaknya seru deh kalo gue bisa mindahin karya tulis gue ke dalam bentuk dan medium lain yang sifatnya fisik. Entah dicetak dan figura, diprint sebagai polaroid, ditulis tangan manual dan dipajang, atau apalagi yaa?
📸 Foto-foto Belakangan Ini:







