__
Gue masih ingat momennya.
Masih ingat banget.
Setelah nyasar ke sana-sini, berhimpitan dengan ribuan orang, gue terbawa naik ke eskalator. Seorang laki-laki gemuk memberikan tanda dengan tangan dan berteriak dengan bahasa arab, seperti menunjukkan jalan. Gue mengikuti arahannya bersama rombongan lain.
Lalu tibalah gue di sini.
Di rooftop masjidil haram.
Di belakang gue ada zamzam tower dengan jam berwarna hijau di bagian atas bangunannya. Sebentar lagi magrib. Langit mulai oranye. Awan tidak begitu banyak. Ini rooftop yang belum sepenuhnya jadi. Masih ada beberapa bagian yang tampak belum dicat dengan sempurna. Ada tangga yang diletakkan di pinggir, plastik-plastik penutup barang konstruksi. Di beberapa sisinya sudah digelar sajadah tempat untuk kami salat lima belas menit lagi. Di sekeliling sajadah-sajadah ini berjajar cone yang diikat satu sama lain. Seperti TKP yang belum boleh dimasuki orang.
Sambil menunggu waktu azan, gue berjalan ke sisi tengah rooftop. Dari pinggirnya, gue bisa melihat kabah di bawah. Ribuan, mungkin lebih, manusia di bawah sana berjalan pelan mengelilinginya. Seperti sekumpulan semut putih yang bergerak bersamaan. Di salah satu sudut kabah, tempat hajar aswad berada, beberapa orang terlihat saling bertumpuk, berebut mendekat, mencium, memegang, meronta-ronta, menangis.
And it hits me.
Ada sebuah perasaan aneh yang muncul di dada gue.
Semacam perasaan sesak, terharu, dan lega.
Gue memperhatikan mereka. Orang-orang di bawah. Mereka yang datang ke sini, satu persatu. Ada orang kulit putih. Ada orang asia. Ada orang kulit hitam. Ada bapak-bapak pakistan dengan jenggotnya. Orang yang berbeda-beda. Mereka datang dari berbagai negara, berbagai kota di negaranya, berbagai rumah dari kota-kota tersebut, berbagai background dan pemikiran dari dalam rumah masing-masing.
Orang-orang yang gue tidak pernah tahu apa isi hatinya.
Nyokap mungkin menganggap keberadaan gue di sini hanya untuk menemani dia yang sudah uzur. Gue, di mata dia, adalah sidekick-nya. Untuk berjaga kalau amit-amit ada masalah atau hal-hal di luar rencana.
Kenyataannya, gue punya doa yang gue lontarkan sendiri di sini. Gue membawa harapan gue sendiri dari rumah, dan dia tidak tahu itu.
Gue yakin, orang-orang di bawah ini juga begitu.
Bapak yang sangat ingin mencium hajar aswad itu mungkin menyuruh anaknya juga melakukan hal yang sama. Lalu si anak yang akhirnya berhasil–tanpa punya doa dan harapan yang sama dengan bapaknya. Di keluarga lain, salah seorang istri sedang menunggu di pinggir, takut terjadi apa-apa, berdoa untuk keselamatan suaminya. Namun, istrinya tidak pernah tahu, apa yang ada di pikiran suaminya saat ini.
Kita tidak pernah benar-benar tahu.
Kita tidak benar-benar kenal orang lain meskipun ia berasal dari negara yang sama, atau daerah yang sama, atau tetangga, atau bahkan tinggal di rumah yang sama.
Kita, sedekat apapun hubungannya dengan orang tersebut, nyatanya tidak saling kenal.
Kita tidak kenal orang lain sebegitunya, dan mereka tidak kenal kita sepenuhnya. Itu fakta pahit yang mesti kita terima. Dan perasaan ketika menyadari ini semua, gue baru tahu belakangan, bernama sonder.
Gue tidak tahu lagu apa yang teman kerja gue putar di earphone-nya saat dia berdiri di dalam busway menuju kantor. Gue tidak tahu mood barista yang menyuguhkan kopi gue pagi ini. Gue tidak tahu apa yang sahabat gue pikirkan ketika dia sendirian di kosannya. Apa yang dia pikirkan tentang kondisi keuangannya. Gue tidak tahu apa yang ada di kepala teman lama gue, seusai menutup telepon, setelah kita bertukar kabar selama satu jam penuh. Gue tidak tahu apa yang dilakukan Nyokap, orang terdekat gue saat ini, ketika gue jauh dari rumah dan menulis ini. Gue tidak tahu apa yang ia tonton dari handphone-nya dan bagaimana hal itu mempengaruhi hidupnya.
Ini dia ironisnya. Di rooftop masjidil haram ini, dengan segitu banyaknya manusia di bawah sana, berdempet-dempetan satu sama lain, tapi tidak ada yang benar-benar kenal satu sama lain.
Sonder adalah perasaan aneh, hangat, pahit, dan mencerahkan, memberitahu bahwa kita sendirian. Seberapa banyaknya kita berpapasan dengan orang-orang lain di hidup kita–orang-orang yang kita temui di jalan, supir gojek, pacar kita semasa sekolah, kolega kerja, tukang nasi goreng langganan, bahkan pasangan dan keluarga yang ada sekarang, kita adalah satu individu unik yang berbeda dari orang lain, dan tidak ada yang tahu diri kita secara penuh, selain kita sendiri.
Sonder menyadarkan gue bahwa kita adalah pemilik penuh hidup kita sendiri, dan bukan sidekick dari siapapun. Bahkan meskipun kamu tiap hari chat-an sama gebetan. Bahkan meskipun kamu tiap hari ketemu sama ibu di rumah. Bahkan ketika setiap malam kamu tidur di sebelah pasanganmu. Mereka tidak benar-benar tahu kamu. Mereka punya hidup mereka sendiri, dan begitu juga kamu.
Entah kenapa perasaan ini justru bikin gue terharu. Sonder bukan bikin hubungan setiap manusia jadi tidak berarti. Justru sebaliknya. Ini bikin gue merasa bahwa manusia begitu indah dengan segala perbedaannya. Kita tidak pernah tahu satu sama lain tapi kita berusaha mengenal, berusaha berkompromi, berusaha memahami satu sama lain dengan berbagai perbedaan, ketidaktahuan, dan rahasia-rahasia yang hanya disimpan sendirian.
Sonder bikin gue tersanjung ketika ada orang yang mau percaya gue. Yang mau cerita hal-hal yang tidak dia post di media sosial. Yang sanggup terbuka soal kekacauannya di balik ketawa yang ia tunjukkan sehari-hari. Dan bagaimana orang ini mau membuka sedikit dirinya, mempersilakan gue masuk dan mengetahui satu dua bagian dalam dirinya, itu hal yang sangat, sangat cantik.
Kita tidak akan pernah bisa tahu cerita utuh dari setiap orang–mengapa mereka bersikap seperti itu terhadap satu hal, pengalaman-pengalaman apa yang membentuk mereka jadi manusia seperti sekarang. Kita tidak akan pernah tahu usaha-usaha apa yang telah mereka lewati dalam kesendiriannya. Kita tidak pernah bisa membongkar manusia, benar-benar mengenalnya.
Tapi kita selalu bisa mencoba mengerti. Inilah yang indah dari sonder: kita bisa sepakat bahwa kita tidak saling kenal, menerima bahwa ada berbagai ketidaktahuan terhadap orang-orang di sekeliling kita, tetapi juga sanggup menerima dan berbagi makna hidup buat mereka untuk sebentar saja, untuk saat ini, selama kita bersinggungan.
Kresnoadi DH
__
Kalau suka karya gue dan mau bikin gue bisa ngopi, bisa klik ini:
📝 Yang Gue Lakukan Belakangan Ini:
Baru aja selesai nonton Podcast-nya Raditya Dika bareng Agusleo Halim yang ini. Seru banget dah bahas banyak buku, productivity, dan lain-lain.
Gue sempat brainstorm di salah satu tempat ngopi jepang-jepangan di Kyoto Country Club sini. Nyobain Magic pakai kopi single origin yang sumatra, tapi jujur favorit gue di perkopian sekarang masih di Toko Kopi Jaya Denpasar yang black aromatic. Tapi, sushinya Kyoto Country Club juara abis!
Baca novelnya Ika Natassa yang Satine. Udah lama juga nggak baca novel fiksi romance gini. Masih suka sama caranya Ika bercerita. Tapi jujur, karena lagi demen nulis juga, kayaknya ada beberapa hal yang gue lebih suka kalau ubah ke sana dan ke sini. Hehehe. Tapi Ika still ika. Seru dan cepet abisinnya!
🧠 Yang Gue Pikirin Belakangan Ini:
Kemarin abis teleponan lumayan panjang bareng salah satu temen kuliah yang udah lama gak kontakan. Dan gue jadi sadar, gue udah jadi full time content creator selama 4 tahun. Four. Fucking. Years. Anjirlah kaget. Mau ga percaya kalau bisa survive, tapi ternyata benaran.
Sempet merasa ga ada motivasi dan bingung buat lanjutin “karir”, tapi pas lagi mandi mikir: “kayaknya kalo gue versi kecil tahu apa yang gue kerjain sekarang, dia bakal happy dan bangga banget.”.
Gatau kenapa tapi lagi pengin bilang ini: ketika lagi di persimpangan besar, coba juga bayangin lima tahun lagi. Bayangin diri lo lima tahun lagi bakal bangga atau nggak dengan pilihan yang lo ambil.
📸 Foto-foto Belakangan Ini:






Tetapp semangatt kak🙌🪐