__
Apa yang lebih sinting dari empat orang asing, ketemuan di pinggir sungai, lalu main paddle board untuk pertama kalinya?
Empat orang asing, ketemu pertama kalinya, turun tebing, ke sebuah gua keramat tempat orang-orang melakukan ritual spiritual.
Ya, Anda tidak salah baca, Bung.
Setelah kemarin gue main bareng Fuad, Firda, dan Neo, kali ini gue ketemu manusia random lain. Mereka adalah Dimas, Wina, dan Amel. Tiga manusia asal Tegal yang kuliah dan kerja di Yogyakarta.
Oke, biar gue cerita dari awal.
Semua ini bermula dari Dimas, salah satu followers yang DM gue di Instagram. Dia bilang kurang lebih gini, “Tolong bantu wujudkan resolusi saya, Bang. Saya pengin seminggu sekali ke tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya.”
Sebagai pria macho pada umumnya, gue cuma bales, “Bagaimana saya bisa mewujudkannya, wahai rakyatku?”
Nggak deng, Hohoho.
Tapi akhirnya kita janjian untuk ketemuan di salah satu tempat ngopi. Untuk bikin rencana petualangan hari itu (sekaligus nunggu celana gue yang basah karena kehujanan sepulang main paddle board.)
Gue akan kasih gambaran sosok mereka. Dimas, cowok pendiam yang paling lama tinggal di Yogya. Senyumnya lebar. Tipikal anak baik-baik yang kalo ditanya preman, “pilih harta atau nyawa?!” dia akan jawab, “Dua-duanya boleh. Masuk aja dulu. Monggo, Pinarak.”
Wina adalah gambaran The Nurul. Hijabers yang suka megang kamera. Anak ISI yang lagi bingung karena baru pindah ke Yogya.
“Aku kayak belum nemuin yang seru aja dari sini. Mungkin karena masih baru kali ya?”
Sementara Amel, cewek kacamata yang superaktif. Kalo setiap ngomong dia dapet seribu, mungkin sekarang udah jadi miliarder. Berhubung dia paling sering cerita dan kami seneng dengerin, Amel kami daulat menjadi Pinru (Pemimpin Regu).
“Jadi, kita mau ke mana?” tanya gue, setelah cabut ke hotel, memakai celana yang baru kering, lalu kembali ke tempat kopi lagi.
“Kami sepakat ke gua Langse, Bang,” jawab Dimas, mantap.
Gue mengingat kembali. Gua Langse adalah salah satu tempat yang diinginkan Dimas sewaktu mengirim DM. Gue sempat lihat foto-fotonya. Ada tebing, gua, pantai, dan sunset.
Pasti tempatnya mantap.
“Oke, gas!”
Maka, dimulailah petualangan laknat itu.
__
Kami sempat mampir dulu ke sebuah tempat bernama Batu Kapal. Tempat yang bikin kami nanya, “Ini mana kapalnya?”
Tempatnya berupa sungai yang di pinggirnya terdapat batu-batu besar sehingga menyerupai lembah. Atau, kalo kata Amel, “Ini mah kayak di belakang rumahku di Tegal, Bang.”
Berhubung gue takut tiba-tiba Nyokapnya Amel nongol, kami mutusin langsung menuju main course: Gua Langse.
Gua Langse ada di kawasan Parangtritis. Maka, untuk sampai ke sana, kami harus bayar masuk di gapura Parangtritis. Per orang 10 ribu.
Setelah melewati Gumuk Pasir dan kawasan pantai, kami naik ke arah Paralayang. Di tengah jalan, ada bapak-bapak yang menghentikan motor kami.
“Mau ke mana? Paralayang atau Obelix?”
“Mau ke Gua Langse, Pak.”
“Oh,” kata si Bapak.
Lalu kami bayar per orang 8 ribu.
Setelah melewati si Bapak ini, kami lanjut naik. Melewati Paralayang, lalu belok kanan ke arah hutan jati. Jalanan aspal sudah habis, berganti tanah batu dan karang.
Kami akhirnya sampai di ujung jalan. Di sini terdapat satu warung dan rumah untuk parkir. Di sebelah rumah tersebut terdapat papan kayu bertuliskan “KUNCEN PAK SUGIYANTO” lengkap dengan nomor telepon di bawahnya.
Kami mengisi buku pengunjung.
“Per orang sepuluh ribu.”
BAYAR MOLO ANJENGGG?!
Hampir gue ngomong gitu, tapi Amel keburu nego dengan bapak penjaga. Akhirnya kami cuma bayar 25 ribu untuk empat orang. Kali ini Anda selamat, Sugiyanto.
“Nanti bagus, lho. Bisa foto di tangga sepuluh,” kata bapak penjaga yang satunya. Senyumnya ikhlas sekali. Bikin gue ngebayangin seperti apa tangga sepuluh itu.
Terus terang aja, gue tidak punya pengetahuan apa-apa selain foto yang Dimas kirim di Instagram. Di bayangan gue, Gua Langse adalah sebuah gua… yang ada di pantai-pantai pada umumnya. Kami akan sedikit menuruni tebing, main di pasir, lalu di antara tebing dan batu karang pantai, ada satu gua yang bisa kami masuki untuk berfoto. Kami bahkan sempat kepikiran beli bola untuk dimainkan di pasir karena Amel si aktif sempat bilang, “Ah, nanti di pantai cuma diem-diem doang.” Tapi, berhubung sepanjang perjalanan kami gak nemu penjual bola, jadilah kami mulai trekking tanpa membawa apa-apa.
Di lima belas menit pertama, jalanan yang kami lalui cukup enak. Ini jalanan yang sama seperti yang kami lewati menggunakan motor tadi. Tanah yang dipadati bebatuan karang, selebar satu mobil, membelah hutan jati.
“Ini baru adventure!” seru Amel, excited.
“Cocok nih untuk kamu shooting film horor?!” kata Wina.
Emang, sih, sore begini suasananya indah. Langit yang biru cerah. Jalanan trek offroad. Burung yang melintas. Pohon-pohon jati yang belum terlalu besar bikin pemandangan ini cocok untuk jadi scene pembuka sebuah film petualangan. Empat orang, berjalan menjauhi kamera, menuju ketidaktahuan di tengah hutan antah berantah.
Tapi, kalo malem, sih, serem juga, Bos. Bener kata Wina.
Di ujung jalan ini ada satu warung yang sudah tidak terpakai. Ada bekas tulisan “Parkir” di salah satu kayunya. Mungkin dulu motor bisa sampai sini. Di sampingnya, ada lima anak tangga naik ke arah batu…
…dan jalanannya habis.
Mentok.
Kami sampai di ujung tebing. Di antara batu-batu besar. Ada satu celah kecil, muat untuk dua orang, untuk bisa melihat ke bawah. Gue memperhatikan dari atas ke bawah. Biru langit dan laut yang menyatu di tengah. Titik-titik kapal di ujung sana. Gelombang ombak yang bergerak. Sampai akhirnya pecah dan menabrak karang di bawah.
Gue tiba-tiba sadar kalau tebing ini tinggi banget. Kaki gue gemeter.
“Eh, ada jalan!” teriak Pinru dari sisi lain batu ini.
Kami langsung datangin ke sumber suara. Pinru melanjutkan omongan yang terpotong, “...tapi, kayak gitu.” Dia menunjuk ke ujung tebing. Terlihat pucuk tangga kayu. Gue maju, cuma ada satu space kecil untuk berpijak di depan tangga tersebut. Oh, shit. Ini bukan curam lagi. INI TANGGANYA DITEMPEL KE TEBING. Gue langsung ingat wajah bapak dengan senyum tulus di awal kami trekking tadi. “Bagus, lho, foto di tangga sepuluh.”
Inikah tangga itu? Oh, ya. Bagus. Kalo fotografernya bisa ngambang di langit depan sana.
Gue memperhatikan wajah semua orang. Wina tampak ragu. Amel memandang lurus ke bagian bawah tangga. Dimas masih nyengir aja.
“Gimana?” Gue membuka suara.
Semua diam.
Amel maju. Gue memberikan ruang. “Aku cek ke bawah dulu kali ya?” Lalu dia mulai menuruni tangga.
“Jujur, ya,” kata Amel setelah berhasil turun. “Aku nggak tahu ini jalan yang bener apa nggak. Tapi nggak ada jalan lain. Adanya tangga lagi.”
Tangga sepuluh? Maksudnya… sepuluh tangga? Pertanyaan gue cuma satu: KENAPA LO NGASIH TAHUNYA SAMBIL NYENGIR BAPAAAKK?!
Berhubung udah ngerasa tanggung, jadilah kami mutusin untuk turun. Pertanyaan: seperti apa rasanya menuruni tebing pakai tangga?
Jawab: Rasanya kayak lo turun tangga… TAPI SETINGGI TEBING.
Cara satu-satunya kami menuruni tebing ini adalah dengan tangga yang ditempel ke dinding tebing. Turun. Lalu ada space sedikit, lalu tangga lagi. Ada juga spot di mana kami harus berjalan merambat ke samping. Berpegangan pada tali di tebing untuk, lagi-lagi, turun menggunakan tangga yang berdiri lurus.
Setelah (gue nggak ngecek berapa lama, tapi sampe lo mau mati), kami sampai juga ke dasar tebing.
Ini kayaknya perjalanan paling ekstrem selama gue berniat ke pantai seumur hidup deh.
Di bagian dasar terdapat satu rumah yang dibangun di atas satu karang besar. Entah untuk keperluan apa. Jalan sampai ujung, terdapat satu gua yang langsung menghadap laut. Beberapa batu di sekitar bibir gua dililit kain hitam putih. Tepat di mulut gua, terdapat satu bagian yang dipasang ubin untuk beristirahat. Kalau duduk di sini, kita bisa langsung memandang laut lepas di depan sana. Rasanya kayak berada di markas batman, tapi auranya kurang nyaman.
Selain kami, ada sepasang suami-istri yang duduk di mulut gua.
“Kamu ke sini nggak bareng juru kunci?” tanya si bapak ke Amel.
“Juru kunci?” Amel bingung. “Nggak, Pak. Kami berempat aja.”
Amel menengok ke kami. Kami nggak ngerti maksud si bapak. Di pikiran kami sekarang cuma, “GUE MAU REBAHAN WOY!” Baju udah lepek dan tenggorokan haus parah. Pemandangan di depan benaran cantik, tapi tetap aja, kok ada perasaan nggak nyaman dengan respons orang-orang di sini ya?
Kayak, ini tuh tempat apa, sih, sebenernya?
Sebelum malam, kami nerbangin drone di dekat rumah di atas karang besar. Di sana ada satu papan yang sudah roboh. Isinya berisi aturan untuk para pelaku spiritual.
Ya.
Aturan. Untuk. Pelaku. Spiritual.
INI KITA RENCANA AWALNYA AJA PENGEN MAEN BOLA DI PASIR PANTAI WOOYYY.
Ada perasaan bingung, panik, capek, tapi juga kagum karena tempatnya bagus. Kami akhirnya kembali naik (oke, maksud gue manjat tebing) dan istirahat di warung jalan masuk tadi.
Sambil minum es teh yang udah kami bayangkan sejak di bawah, kami ngobrol dengan Ibu pemilik warung.
“Kalian kok nggak nginep di bawah aja?” tanya si ibu yang, pertanyaannya pengin gue bales dengan pertanyaan lagi, “Kok ada yang mau nginep di bawah?”
Amel lalu curhat tentang apakah turun ke bawah harus dengan juru kunci/kuncen, yang dibalas dengan tidak apa-apa. Kami penasaran ini sebenarnya tempat apa, tapi terlalu takut untuk nanya secara langsung. Jadi, kami cuma nanya apakah tempat ini ramai dikunjungi.
“Rame kok. Apalagi tiap malam selasa kliwon dan malam jumat kliwon.”
Jawaban itu bikin kami malas nanya lebih lanjut.
Pulang dari sana badan rasanya mau rontok. Kami mutusin untuk ke Alun-alun Kidul. Kami cuma pengin rebahan dan lemesin kaki.
Sesampainya di hotel, gue jadi penasaran. Maka gue browsing lah Gua Langse. Dan ini yang gue temukan:
Goa Langse menyimpan cerita panjang kedekatan manusia dengan alam. Tempat itu menjadi jujugan emreka yang punya hajat besar. Sepanjang perjalanan dan berbincang dengan beberapa sosok penjaga kawasan ini, ada banyak nama yang mereka sebut pernah kemari.
Dua di antara nama besar yang disebut pernah datang adalah Jokowi dan Anies Baswedan. Bahkan konon, Presiden Sukarno, Soeharto dan Jenderal Sudirman pernah ke gua ini. Selain itu, banyak nama-nama yang tidan asing di pemberitaan media daring dan televisi. Mereka datang menjelang momen penting dalam hidupnya. (Sumber: Mojok.co)
Tanggapan:
Apakah mulai sekarang gue setara Anies Baswedan dan Jokowi?
Lalu berita ini:
Ia bercerita kalau pernah ada orang yang jatuh dari tebing. Lelaki yang saat itu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi caleg DPRD di Semarang itu, kata Sagiyanto, meninggal.
Sejurus kemudian, ia bercerita bahwa jelang tahun politik. banyak orang yang hendak mencalonkan diri mulai dari level lurah sampai kepala daerah datang kemari. Berdoa di dalam kegelapan gua. (Sumber: Mojok.co)
Tanggapan:
…
Dan yang paling best of the best:
Sugiyanto mengungkapkan alasan orang-orang berkunjung ke Goa tersebut. Sebab selama ini beredar kabar jika Goa tersebut merupakan salah satu istana Nyi Roro Kidul, penguasa pantai Selatan Jawa. Konon Goa ini juga sering digunakan semedi Syech Maulana Maghribi ataupun Syech Siti Jenar hingga Panembahan Senopati.
“Keluarga Keraton Mataram juga sering berkunjung,” tambahnya.
Goa ini diyakini juga menjadi salah satu tempat pertemuan antara dua penguasa, Penguasa Keraton Mataram dengan Penguasa Laut Selatan. Di tempat ini para pengunjung biasanya memanjatkan doa dengan membawa ‘ubo rampe’ kembang serta wewangian dupa (Sumber: Kumparan)
Tanggapan:
Kayaknya kita udahin aja deh postingan ini…