__
Di tengah-tengah makan kwetiau tadi malam, gue kepikiran sesuatu. Kayaknya, ada yang salah deh dari video YouTube terakhir gue itu.
Tapi, apa ya?
Gue lalu berusaha mengingat catatan yang udah gue bikin tadi siang. Tentang apa aja yang pengin gue lakuin untuk promosiin video itu. Lalu, pikiran gue melayang ke seriesnya Natalie Lynn yang Borderless. Series tentang dia yang akhirnya beli van, ngebuat itu jadi campervan, dan, sesuai kayak judulnya, hidup borderless. Tanpa batas. Series itu adalah dokumentasi hidup dia yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Gue ingat video pertama dia yang berjudul “I Spent My Life Savings to Travel In A Van.” ngomongin gimana dia ngabisin seluruh tabungannya untuk beli satu van buat dijadiin campervan. Lalu, ingatan gue berkelebat ke episode-episodenya yang lain. Meskipun videonya adalah kehidupan saat dia traveling, tapi judulnya tidak pernah berfokus ke tempat yang dia datangi.
Ingatan ini lalu membawa gue ke Aidin Robbins. Di video ini dia bilang kalau “travel content is often people visiting locations rather than the people who live in those locations.”
Konten-konten soal travel tuh lebih sering ngomongin tentang manusia yang mendatangi suatu tempat sebagai destinasi wisata, ketimbang membahas manusia di tempat tersebut. Hal ini ngebuat tempat itu cuma dipandang sebagai produk aja. Padahal, bagi orang yang tinggal di sana, tempat itu bukan sekadar destinasi. Tempat itu adalah rumah. Tempat mereka lahir dan tumbuh dan hidup pada umumnya. Lebih keras lagi, di video lain si Aidin ini bilang kalo dia sengaja nggak ngasih tahu lokasi spesifik tempat-tempat yang dia datangin karena takut jadi overtourism. Takut rumah-rumah penduduk ini berubah.
Gue kemudian jadi flashback ke video-video yang udah gue buat. Selama ini… bukannya gue gitu juga ya? Bukannya itu yang kadang ngebuat gue jadi krisis identitas? Sulit dikategoriin travel creator karena jarang ngomongin tempat yang didatangin?
Lalu gue sadar kalo selama ini, seperti halnya Natalie Lynn dan Aidin Robbins, video-video gue jarang ngomongin tujuannya, dan lebih sering membahas perjalanannya.
Ketika bikin Camping with Strangers, misalnya. Isi videonya nggak pernah menitikberatkan soal tempat kemahnya, tetapi tentang interaksi orang-orangnya. Ketololannya. Reaksi dan kejadian-kejadian ajaib yang ada di dalamnya.
Contoh lain, ketika gue ke Bali dua tahun lalu. Gue ngomongin soal hubungan gue dengan tempat baru, dengan teman lama, dan stranger yang gue temuin. Video Bali berikutnya juga jawaban atas pertanyaan “Apa yang terjadi ketika dua orang asing berpetualang bareng selama satu bulan penuh?” Video gue berkelana di Jogja justru nyari tahu alasan gue mutusin berpetualang.
Aneh memang.
Tapi, kayaknya itu yang salah deh.
Yang salah dari video YouTube gue kemarin adalah judulnya. Setelah gue tonton ulang, video 90 Hari Menamatkan Bali juga bukan sepenuhnya tentang Bali. Di situ gue nggak ngasih tahu ke tempat ini lewat mana, naik apa, bayar berapa, dan seperti apa kondisi jalannya. Di video itu, gue tidak me-review Bali.
Seperti video-video gue yang lain, video itu adalah cerita tentang interaksi gue sebagai manusia. Kali ini terhadap diri sendiri, keluarga yang ada di rumah, dan tempat-tempat baru yang asing.
Seperti yang gue bilang di dalam video, video itu adalah tentang laki-laki sotoy yang memutuskan keluar rumah untuk mencari tempat pulang. Itulah esensi dari series Mencoba Tinggal ini.
Kebetulan, episode pertamanya ada di Bali.
Jadi, kayaknya video itu akan gue ubah judulnya jadi ini: Gue Keluar Rumah Untuk Mencari Makna Pulang.
Dengan begitu, secara konsep kayaknya lebih pas deh. Ke depannya, series ini juga tidak perlu fokus pada selama apa gue mencoba tinggal di satu tempat, tetapi cerita tentang hubungan gue dengan tempat itu aja.
Ya nggak sih?