__
Sunset Road. Pukul 3 pagi. Di atas motor.
Gue keingat Bokap.
Belakangan ini gue memang lagi nulis tentang hubungan gue dan Bokap di buku yang sedang gue kerjain. Tentang gimana hal-hal yang dia lakukan di masa kecil secara tidak langsung membentuk gue yang sekarang.
Pagi ini Bokap seperti sedang memerhatikan gue dari atas. Menjemput orang ini pulang pesta di Seminyak. Di antara lengangnya jalanan menjelang subuh.
Jalanan kosong ini jadi tempat kami bercerita. Gue menarik tuas gas. Sambil menahan kantuk dan angin dingin di motor, gue bertanya-tanya, “Kenapa gue mesti ngelakuin ini ya?”
Gue membayangkan sore tadi, salah seorang teman yang baru gue kenal meledek bahwa menjemput orang pulang party, subuh-subuh, adalah tindakan cinta yang bego.
Apa iya?
Apa iya gue bego?
Apa iya aku bego, Pak?
Pertanyaan ini membawa lamunan gue ke sepuluh tahun lalu. Ketika gue pulang wisuda kuliah. Kami di dalam mobil. Perjalanan Bogor menuju Jakarta. Bokap dan Nyokap di kursi depan. Gue dan perempuan ini, yang saat itu jadi pasangan gue, duduk sebelahan di kursi belakang. Seperti halnya pasangan yang baru bertemu orang tua, gue memperkenalkan siapa perempuan ini, asal-usulnya, keluarganya.
“Jadi, mau diantar ke mana?” tanya Bokap sambil menyetir.
Perempuan ini menengok ke gue, meminta pertolongan.
Sebelum orang tua gue datang, kami sempat ada pembicaraan soal ini. Karena berbeda arah, kami sepakat untuk mengantar dia di stasiun Bogor, kemudian dia akan naik gojek menuju apartemennya, sementara gue melanjutkan perjalanan lewat Parung ke Tangerang Selatan melalui jalan sebelah stasiun. Di tengah-tengah. Sama-sama enak. Pas.
“Stasiun aja, Pak.”
“Lho?” Bokap bingung dengan respons gue. “Emang selama di sini tinggal di mana?”
Saat itu dia bela-belain datang dari Manado. Selama mengunjungi gue, dia menginap di apartemen saudaranya di Jakarta Timur yang alias… jauh banget bos, kalo dari rumah gue, buset dah.
“Kan Jakarta Timur. Kok malah ke stasiun?”
Gue dan perempuan ini saling tengok. Dia bingung harus menjawab apa, gue apalagi. Gue tahu dari nada Bokap, seperti ada yang salah. Di pikiran gue saat itu, kami, kan, mau pulang ke rumah yang berada di Tangerang Selatan dari Kabupaten Bogor. Kalau dari awal gue bilang ke Bokap mau nganterin dia ke Jakarta Timur. Berarti rutenya begini: Bogor -> Parung -> Tangerang Selatan -> Jakarta Timur -> balik lagi ke Tangerang Selatan
Itu kan sama aja… pantat gue bakal sixpack gak sih?
Berhubung suasananya jadi makin canggung, perempuan ini bikin alasan untuk minta turun di Giant. Kami pura-pura lupa kalau dia ada urusan keluarga, dan kebohongan lain, dan kebohongan lainnya lagi. Setelah berdebat lumayan panjang, Bokap setuju.
Terus terang gue agak tidak enak hati dengan kejadian ini, tapi mau gimana lagi? Besok, toh, gue akan samper dia lagi ke Jakarta Timur. Jadi gue pikir semua akan baik-baik aja.
Begitu dia turun dan pintu mobil ditutup, Bokap marah. Maksud gue, beneran marah. Omongannya pelan, tapi gue tahu ada kekecewaan yang dalam di sana. Dia mempertanyakan kenapa gue nggak mau antar dia sampai ke apartemennya. Meskipun gue kasih penjelasan, Bokap masih tidak terima. Buat dia, sebagai laki-laki, apalagi yang sayang sama orang tersebut, gue harus memastikan dia aman.
Omongan Bokap kayak nendang dada gue sampai bunyi deg. Gue tidak pernah tahu kalau Bokap punya prinsip kayak gini. Buat dia, itu bukan cinta yang bego. Itu tanggung jawab.
Itu fungsinya laki-laki.
Entah gimana, setelah kejadian ini, gue jadi kebawa juga. Ternyata, gue baru sadar kalau selama ini Bokap memang begitu. Sewaktu Bokap remaja dia sering nge-chat nyuruh pulang kalau gue main sampai malam. Seiring gue makin dewasa, ia mengurangi intensitas chat itu, tetapi dia selalu masih bangun semalam apapun gue pulang. Dia juga memastikan Nyokap baik-baik aja, selalu, dengan cara-caranya sendiri. Akhirnya, lama kelamaan gue jadi merasa hal-hal semacam itu bukan effort. Bukan hal yang harus dipikirkan dua kali. Sekarang, itu jadi semacam keharusan yang berjalan natural gitu aja.
Orang lain mungkin akan melihat ini sebagai tindakan bodoh. Persis kayak yang ada di kepala gue sepuluh tahun lalu itu. Mobilan dari Bogor lalu lewatin Tangerang Selatan buat ke Jakarta Timur lalu balik Tangerang Selatan? Sangat tidak efisien. Ngabisin waktu. Dan berasa tawaf muterin Jakarta. Tapi, fakta bahwa hal-hal ini tidak pernah muncul di kepala Bokap bikin gue mikir panjang. Dan perlahan-lahan, tanpa gue sadari, gue berubah menjadi seperti dia juga.
Pada akhirnya, mungkin ini pesan yang ingin Bokap bilang dari atas sana: keselamatan orang yang kita sayang adalah tanggung jawab kita sebagai laki-laki. Dan salah satu cara paling gampang melakukannya, adalah dengan memastikan ia sampai rumah dengan selamat, untuk bisa bertemu kita lagi besok, atau besoknya lagi.
Kresnoadi DH
__
Kalau suka karya gue, bantu gue ngopi agar bisa melek dan nulis kayak gini lagi:
📝 Yang Gue Lakukan Belakangan Ini:
Baru beli sepatu bulutangkis! Hohoho. Akhirnya di Bali bisa main bulutangkis tanpa harus nyewa sepatu di lapangan lagii.
Kemaren ke tempat yang bernama “Pahdi Specialty Coffee” di Kintamani. Kopinya beneran enak. Walaupun belum termasuk kopi favorit sih. Tapi kayaknya bakal balik lagi deh.
Nemu tempat bernama “Puncak Karier Coffee” dan menunya Direktur. Ini kopi, tapi rasa semangka. Aneh, tapi gue suka. Hohoho. Kayaknya jadi top 5 kopi favorit gue selama gue idup.
🧠 Yang Gue Pikirin Belakangan Ini:
“Kayaknya harus mulai mikirin duit nih…”
📸 Foto-foto Belakangan Ini:




