Pengalaman Menonton SORE Sore-sore.
Film yang cantik, luar biasa, dan bikin gue membayangkan diri gue sendiri ketika kelak bikin film.
__
Rasanya masih hampa.
Ada semacam getir, pahit, tetapi juga manis yang lembut dan menghangatkan. Rasanya ingin meredupkan kamar, dan membiarkan diri bertemu kesendirian. Males ketemu temen. Males ngobrol. Males ngapa-ngapain. Gue cuma pengin bengong. Mencerna apa yang baru aja gue tonton… sampai nggak sadar tukang nasi goreng lewat depan rumah.
Tahu-tahu udah pukul sepuluh malam aja.
Film Yandy Laurens sering ngingetin gue dengan cerita-cerita Haruki Murakami–kita nggak perlu mikir kenapa ide ceritanya aneh dan di luar nalar (kayak hujan ikan, atau ngobrol sama kucing), dan gimana tokohnya bereaksi seolah-olah itu memang bisa terjadi. Bedanya, film Yandy lebih manis dan gak bikin pengin bikin gantung diri aja.
Sekarang, pikiran gue kembali ke dalam bioskop. Beberapa jam yang lalu. Setengah tiga sore, tepatnya. Kami duduk di bangku paling atas. Ketiga dari kiri. Kaget karena layout yang ada di aplikasi ternyata tidak sesuai dengan yang di dalam studio.
“Bener studio yang ini?” tanya dia, ragu karena di depan pintu studio tadi kami tidak bertemu yang berjaga. “Jangan-jangan nanti salah film.”
Dari aplikasi, posisi kami seharusnya ada di bagian atas, tepat di tengah layar. Bukan di pojok begini. Tapi nomor studio dan kursinya nggak salah. Jadi, gue cuma menjawab dengan: “Harusnya, sih…”
Abisnya nggak lucu kalo di film ini Dion Wiyoko-nya kaget karena begitu bangun tidur, di sebelahnya ada mas-mas berambut klimis pake sempak di luar.
Lalu, seperti saat ini, lampu dipadamkan. Suasana menjadi gelap. Tetapi samar-samar gue masih bisa melihat bagian hitam di layar yang melebar, pertanda filmnya akan main. Bisik penonton semakin lama semakin pelan.
Dan hening.
This is it.
Gue menarik napas panjang. Menekan kacamata. Bersiap untuk hal yang tidak tahu apa.
Film dibuka dengan satu tetes air, super close up, dan sangat slow motion. Lengkap dengan voice over suara perempuan. Gue belum menangkap maksud visualnya, tetapi gue menikmati ketidaktahuan ini.
Lalu, muncul teks bertuliskan Jonathan.
Retakan es di kutub membelah teks tersebut, dan Dion Wiyoko hadir dengan kameranya.
Lalu, gue nggak bisa kedip karena… the shots are beautiful. Komposisi frame. Warnanya. The negative spaces. Semuanya. Cantik, dan sangat sangat… gue sekali.
Gue pengin menggelinjang sambil jerit heboh, tapi sadar kalau di studio ini banyak orang.
Ini… ini film Indonesia, nih?
Ada perasaan kagum yang bikin pengin nyengir lebar, tetapi juga bangga karena gue kayak lagi ngeliat apa yang ada di kepala gue, kalau misalnya gue berkesempatan bikin film.
Dan entah gimana, gue menikmati film ini sebagaimana gue melihat diri gue membuat film ini. Ketika Sore bangun di sebelah Jo, gue memperhatikan pakaiannya. Ketika Jo menggendong Sore di antah berantah. Gue melihat diri gue meletakkan tripod, menggendong dia, tepat di tengah, persis seperti dalam frame tersebut. Shot mereka berdiri di kereta adalah apa yang ada di bayangan gue ketika duduk di dalam MRT setiap keretanya belok dari Fatmawati menuju Haji Nawi.
Shot La La Land di pinggir jalan itu, juga ketika mereka berhenti di sebelah pohon sebelum menuju rumah Bapak. Aurora mainan di pameran. Perubahan lighting merah yang sangat Damien Chazelle itu, yang sangat-sangat gue suka dan impikan ada dalam video gue. Juga referensi transisi ketika Sore tidur dari Scott Pilgrim Versus The World itu. Serta montage dari Everything Everywhere at All Once.
Momen lempar-tangkap centong di depan sunset, dan dudukin buku di kasur yang juga sangat natural, sepertinya improve, but sweet as fuck.
Belum lagi pilihan soundtrack dan ceritanya. Adhitia Sofyan dan Barasuara yang gue banget, scoring drum and snare yang ngingetin gue akan Whiplash, detik jarum jam yang menggema di studio, dan tulisan di amplop coklat dalam lemari Jo, yang juga gue punya dalam catatan-catatan pribadi gue di Google Keep.
Satu hal yang bikin gue makin kaget adalah ini: sebuah pembahasan besar di dalam film yang juga pernah gue tulis script-nya. File-nya ada di laptop ini. Videonya bahkan udah gue rekam. Duduk bicara di depan kamera, di padang rumput… tetapi tidak gue edit dan tayangkan karena satu dan lain hal.
Kombinasi semua ini membuat gue bengong dan gabisa berkata-kata.
Sampai akhirnya, dengan satu pertanyaan sederhana dari Sore, gue meneteskan air mata.
nb: ditulis sambil mendengarkan Adhitia Sofyan - Gaze