Munduk.
cerita dari kabin dan tahun-tahun belakangan.
__
Tebak siapa yang berkelana tapi lupa bawa baterai kamera, dan baru sadar setelah kameranya dipakai buat bikin video timelapse kabut gajelas selama empat detik?
Berhubung gue gak punya alat untuk mendokumentasikan perjalanan ini, jadi gue buka laptop dan mutusin buat nulis aja.
Udah lama juga ya nggak menulis catatan perjalanan gini (menyelesaikan kalimat tadi sambil menatap nanar 7 tab tulisan yang belum selesai). Hehehe.
Well, sekarang gue berada di Munduk, Bali bagian utara. Masih muka bantal. Padahal udah pukul setengah delapan pagi.
Gue mengetik ini sambil berdiri di depan meja dari batang kayu dengan satu lubang panjang. Ada beberapa mata kayu coklat tua di permukaannya. Mengingatkan gue pada perkataan dosen sewaktu kuliah dulu, “Mata kayu itu cacat. Bikin kayu jadi nggak awet.” Lucunya, begitu lulus dan mengobrol dengan banyak orang, ada tipikal orang yang justru suka dengan mata kayu ini. Mereka menganggap ini sebagai “seni” sehingga bahan kayunya cocok digunakan sebagai furnitur atau pajangan.
Pagi ini udaranya dingin. Entah karena efek hujan semalam, atau gue yang terlalu rendah menyetel AC. Kaca di sekeliling kabin jadi penuh embun dan mengaburkan pandangan di depan.
Di depan kabin, ada satu kolam renang di tengah sawah dengan padi yang hampir siap dipanen. Matahari yang berada di sisi belakang membuat cetakan bayangan kabin-kabin menimpa persawahan.
Di depan sana, kumpulan pohon membentuk bukit yang memanjang. Ada dua rumah dengan genteng berwarna oranye yang membuatnya mencolok di tengahhijaunya pepohonan.
Di teras kabin sebelah, penghuninya sedang duduk menikmati sarapan.
Ini yang gue suka dari bertualang.
Momen ketika gue bangun dan tersadar kalau gue sedang di antah berantah. Seperti mengambil buku dan membukanya secara acak dari halaman tengah. Perasaan yang selalu bikin gue bertanya, “Kok bisa ya gue ada di sini?” lalu, beberapa detik kemudian bertanya lagi, “Kok bisa ya gue ada di sini, anjeng?”
But, here I am.
Tersesat dan baik-baik saja.
Kemarin… oh, kemarin? Selain pantat pegal karena motoran selama tiga jam dari Denpasar, gue berhenti di satu tempat makan bernama The Little Hill Terrace.
Tempat ini ajaib, dan bikin gue kagum dengan arsitektur. Kok, bisa, ya, barang-barang yang diletakan di suatu ruangan sebegitu berpengaruh terhadap perasaan dan suasana hati kita saat berada di dalamnya?
Seperti namanya, tempat ini berada di atas bukit. Dengan seluruh sisi bangunannya terbuat dari kaca yang memperlihatkan seisi hutan. Bangunannya diisi berbagai tumbuhan, dan kombinasi furnitur dari kayu dan besi. Di bagian tengahnya, satu pohon besar dihias bola-bola di ujung rantingnya. Beberapa bingkisan kado tergeltak di bagian bawah. Christmas vibes. Satu vas kaca berisi bunga-bunga segar diletakkan di tiap meja, lengkap dengan lampu klasik kecil. Gue sempat mengobrol dengan pak Joni, bapak berambut putih yang senyumnya ramah sekali, manajer kafe. Dia mengajak gue untuk melihat satu kabin di bagian bawah. Kabin luas dengan dua kamar tidur, satu living room di bagian tengah, juga dengan perabotan berbahan kayu. Di teras kabinnya terdapat satu fireplace, sofa, dan meja yang menghadap langsung ke pepohonan di depannya.
“Yang ini dua setengah juta,” kata si bapak, yang kemudian menawarkan untuk memfoto bagian dalamnya. “Siapa tahu lain kali ke sininya sama teman-teman.”
Selepas makan siang dan meninggalkan kafe, hujan turun. Deras. Posisi kami di tengah bukit, jalanan kecil, naik turun dan berkelak-kelok. Jadilah gue memelankan motor, takut-takut ban selip di kondisi begini. Di beberapa momen, kabut yang sebelumnya berada di puncak bukit, kini turun sampai ke aspal. Membuat aspal tersebut seolah mengeluarkan asap putih akibat diguyur hujan.
Selama perjalanan, gue merasa dibawa masuk ke portal menuju tempat-tempat lain yang pernah gue kunjungi. Ada satu jalan yang mengingatkan gue ketika motoran dari Batu ke arah utara. Ada juga jalanan yang membawa gue kembali ke lereng merapi. Ada satu daerah yang mengembalikan suasana motoran di pinggiran Lombok.
Lucunya, setelah mengalami pengalaman itu, sorenya gue membaca buku The Creative Act: A Way of Being dan menemukan kalimat ini:
“As artist, we seek to restore our childlike perception: a more innocent state of wonder and appreciation not tethered to utility or survival.”
Gue jadi ingat Rick Rubin, penulisnya, pernah bilang kalau ini yang membedakan orang dewasa dan anak-anak: ketika orang dewasa mendapatkan suatu pengalaman, tanpa sadar ia akan membandingkan pengalaman tersebut dengan sesuatu yang berada di dalam diri kita, termasuk perasaan dan pengalaman lain yang pernah kita dapatkan. Sementara anak kecil menerima pengalaman sebagai satu hal yang utuh. Yang penuh. Tanpa membanding-bandingkan. Tanpa mengambil kenangan di masa lalu.
__
Menariknya, itu yang gue pelajari di tahun ini: kembali menjadi anak-anak. Bukan dengan membuat keputusan kekanak-kanakan atau hasrat melepaskan tanggung jawab, tapi gue belajar untuk living in the moment.
Makanya, kalau dipikir lagi, kejutan yang gue dapatkan di tahun ini bukan tipikal kejutan-kejutan besar yang heboh, atau lonjakan jauh, melainkan surprise-surprise kecil yang lembut dan sederhana. Seperti ketika gue membuka balkon di suatu siang, dan menemukan bahwa tanaman gue telah tumbuh dan berkembang. Daun-daun baru, bunga dengan warna yang belum pernah gue lihat sebelumnya, pot yang sudah tidak cukup lagi. Bahkan… sejak kapan gue mulai merawat tanaman?
Atau ketika gue bersepeda menuju pantai sanur dan menyadari bahwa gue sudah tidak punya mobil lagi… dan menggantinya dengan sepeda. Ternyata, tempat-tempat yang selama ini gue anggap dekat kalau naik motor, bikin betis pegal juga. Atau ketika mobil ngebut di genangan basah dan menyiram gue saat bersepeda di hari hujan. Atau kejutan yang muncul saat gue memasukkan pakaian ke lemari sehabis dari laundry. Sejak kapan baju gue jadi berwarna gini? Kok kaos gue jadi banyak yang warna putih? Celana bahan dan sepatu loafers? Halo? Ini baju gue? Ini yang gue pakai di tahun ini?
Tahun ini bukan tahun petualangan yang dar der dor. Bukan kenekatan yang menggebu-gebu, perjalanan yang jauh, atau petualangan di tempat-tempat viral yang spektakuler. Ini adalah tahun saat gue duduk di bangku luar, lalu memperhatikan bayangan daun yang bergoyang di tanah. Pelan, tapi selalu bergerak. Samar, tapi romantis. Mono no aware.
Tahun ini gue lewati tanpa pesta dan ledakan mercon di angkasa. Tetapi di malam-malam ini, ada gemericik kembang api di genggaman tangan. Dan menyaksikan letupannya yang kecil, suaranya yang khas, sesekali mengenai tangan, rasanya seru juga.
Kalo lo sendiri gimana?
__
Kalau suka karya gue dan mau bikin gue rajin ngepost, bantu support dengan klik ini:
📝 Yang Gue Lakukan Belakangan Ini:
Nuliiissssss! Lagi banyak banget nulis gara-gara ngebuka Tumblr lama. TERMASUK NULIS POSTINGAN YANG MALAH KEBALAP SAMA POSTINGAN INI. Hehehehehe.
Ketemu Yessi, salah satu seniman mural setelah sepuluh tahun. Belum sempat cerita banyak karena ngobrol di exhibition seni The Uncle Joy.
Datang ke event Jakarta Coffee Week, main ke kebun raya Bedugul, apalagi ya? Hmmmm.
🧠 Yang Gue Pikirin Belakangan Ini:
Jujur aja, gue lagi nggak ada motivasi buat ngelarin video, atau posting konten apapun. Kayak ngerasa nggak punya energi, tapi juga makin lama nggak bikin malah makin stres. But hey, apakah kita akan mulai dari hari ini?
Gara-gara jarang post belakangan ini sampai ada DM yang masuk nanya, “Bang, lo dapet duit dari mana sih? Kok bisa bertualang terus?” Gue juga bingung jawabnya gimana…
📸 Foto-foto Belakangan Ini:















