__
Beberapa minggu lalu gue nggak sengaja dengerin lagunya Harry Styles yang Matilda dari TikTok.
Pada awalnya, gue suka karena petikan gitarnya.
Kayak ada sensasi sendu, tapi tenang, tapi gelap. Seperti seseorang yang berjalan di kegelapan. Seperti ketidaknyamanan yang coba ditenangkan, karena kita tidak punya orang lain untuk dimintai pertolongan.
Lalu gue putar berkali-kali sambil dengerin liriknya.
Dan itu bikin gue bengong seharian.
You can let it go
You can throw a party of everyone you know
And not invited your family cause they never showed you love
You don’t have to be sorry for leaving and growing up
__
Kok dia berani banget ya nyiptain lagu dengan lirik kayak gitu? Lagu yang terasa sangat… jahat?
Sekaligus cantik.
Mungkin gue bukan Matilda. Gue nggak pernah bikin pesta dan ngundang semua temen dan gak ngajak keluarga karena mereka nggak cinta. Kalopun hal itu beneran kejadian, paling alasannya karena Nyokap gue mager aja.
Tapi, gue paham rasanya.
Gue paham rasanya jadi Matilda. Dilema untuk memilih antara diri sendiri dan keluarga, orang paling dekat yang kita sayang dari kecil itu.
Sedari kecil, gue selalu ada untuk keluarga. Sebagai anak bungsu, gue tidak pernah merantau. Gue selalu di rumah. Selalu jadi anak yang berusaha nurut. Berusaha mendengar. Mencoba kenal dan memahami berbagai sudut pandang mereka.
Sampai paru-paru gue kolaps.
Gue masih ingat betul bagaimana hari jumat itu, scapula kanan gue tiba-tiba sakit. Rasanya kayak ditusuk pake jarum segede linggis. Lalu, sedikit demi sedikit gue kesulitan bernapas. Jumat berganti sabtu, lalu berganti minggu dan senin. Gue merasa kondisinya makin parah. Tapi Bokap dan Nyokap bilang kalau itu paling cuma masuk angin biasa.
Seninnya gue bolos kerja dan mutusin ke rumah sakit.
Suasana tiba-tiba heboh. Dokter dan suster panik. Gue didorong ke kursi roda, selang oksigen dimasukkan ke hidung, gue dibawa ke ruangan rontgen dan harus langsung dioperasi. Semuanya begitu cepat karena dokter bilang bahwa paru-paru kanan gue udah kempis banget.
“Terlambat dikit aja kamu bisa nggak selamat,” kata dokternya, sambil menjelaskan tentang pneumothorax, nama penyakit yang gue derita.
Dari sana, hidup gue berubah. Berhubung penyakit gue ada hubungannya dengan sistem pernapasan dan kualitas udara, anak yang selama ini harus di rumah untuk jagain orangtua ini akhirnya ngekos. Harapannya supaya jarak ke kantor lebih dekat sehingga gue tidak terpapar udara Jakarta yang kotor.
Lucunya, ngekos ternyata bikin gue bahagia. Gue nggak lagi harus selalu mikirin Nyokap. Gue mulai mikirin diri sendiri. Gue bisa memilih makanan yang gue konsumsi, nyisihin uang untuk beli sesuatu yang gue mau, mikirin karir ke depannya, dan fokus sama pasangan gue waktu itu.
Di tahun itu, Bokap meninggal. Otomatis keluarga gue jadi terpencar. Kakak gue yang udah menikah tinggal di Bogor, gue di Tebet, sementara Nyokap di Tangerang Selatan.
Di sini dilemanya mulai muncul. Setiap ngobrolin soal keluarga, gue selalu jadi pihak yang disalahkan. Pertanyaan-pertanyaan semacam “Kok tega banget sih ninggalin Nyokap sendiri?” dan “Emang nggak kasian sama Nyokap?” bikin gue termenung. Apakah gue emang salah ya? Apa gue anak yang durhaka? Apa gue emang harusnya di rumah aja?
Lalu covid muncul.
Gue berhenti ngekos dan bekerja dari rumah. Berdua dengan Nyokap. Kembali jadi setelan “si anak bungsu yang harus di rumah dan jagain orangtua.”
Saat itu gue juga putus dengan pasangan gue.
Kehidupan semakin runyam. Kerja di rumah ternyata nggak segampang itu. Jam kerja jadi nggak jelas, meeting kadang sampai malam, dan komunikasi mulai berantakan. Itulah masa ketika gue punya uang tetapi kehilangan diri sendiri. Masalah ini harus gue tahan sendirian sambil tetep dengerin curhatan Nyokap tentang apapun dan kapanpun. Belum berita-berita tentang kematian saat itu yang bikin suasananya makin serem.
Satu setengah tahun berlalu tetapi gue merasa nggak punya siapa-siapa. Gue nggak punya tempat untuk cerita, untuk numpahin segala kesetresan ini, atau berbagi hal-hal yang gue suka. Di sisi lain, pertanyaan soal sukses dan jodoh datang dari rumah. Masalahnya, gimana gue mau ketemu jodoh kalo tiap hari kerjaan gue cuma di kasur dan kerja di depan laptop pake baju tidur?
Gue akhirnya mutusin buat resign dan fokus untuk dapatin uang dari bikin konten. Dilemanya semakin besar karena gue selalu merasa bersalah kalau ninggalin Nyokap, tetapi juga merasa nggak akan berkembang kalo di rumah terus.
Sampailah gue di persimpangan besar ini: sampai kapan gue harus di rumah?
Pemikiran paling jahat gue adalah bertahan sekuatnya. Sendirian. Gue akan di rumah, nemenin Nyokap yang pelan-pelan melihat gue dengan iba. Dengan tatapan “Kenapa anak gue nggak sukses-sukses?” “Kenapa dia sampai sekarang belum nikah?” sampai Nyokap nggak ada. Baru gue memulai hidup dari nol. Hidup yang gue mau, yang tidak akan disalahkan lingkungan atas apa yang gue lakukan.
…tapi, itu jahat kan?
Itu adalah pemikiran yang selalu gue usir setiap kali dilema ini datang. Pemikiran yang bikin gue nangis malem-malem kalo lagi overthinking dan ngerasa udah mentok.
Tentu gue sayang sama Nyokap. Tapi dilema ini nyata dan bikin gue bingung. Dilema antara menjadi anak durhaka yang egois, atau anak baik-baik yang hari-harinya dimiliki orang lain.
Untungnya, karena berpetualang, fase ini sedikit demi sedikit terlewati. Gue mulai bisa nerima meskipun tiap pergi ke suatu tempat dan ngomongin ini, gue kembali dicap durhaka dan jahat. Kualitas hubungan gue dengan Nyokap pun justru membaik ketika gue lagi pergi ke kota lain.
Gue mungkin bukan Matilda karena gue tahu Nyokap sayang sama gue, dan begitu juga sebaliknya. Gue mungkin bukan Matilda, tetapi tampaknya banyak yang seperti gue. Yang juga pengin merasakan pesta di hidupnya sendiri. Yang juga pengin merasa baik-baik aja ketika dia harus ninggalin keluarganya.
Seperti halnya Harry Styles, gue nggak mau ikut campur dengan keputusan Matilda-Matilda lain di luar sana. Hidup mereka bukan urusan gue, tetapi gue mau bilang kalo apapun keputusannya, lo adalah sosok yang kuat. Dan Lo nggak harus merasa bersalah untuk apapun yang lo pilih.
penuh bawang😭😭