__
Gue overwhelmed.
Kayak ada banyak banget yang harus dikerjain, menumpuk, tapi nggak tahu harus mulai beresin dari mana.
Ada tulisan tentang eksklusif yang pengin gue bikin. Ada preparation untuk Story-nya. Ada video pakai dji osmo pocket 3 yang pengin gue coba. Ada tulisan dari chat Alam bahwa setiap dari kita sedang berkunjung, cuma beda-beda tempat aja. Ada harus kirim STNK ke tempat Fahri. Ada video review hotel yang belum di-edit. Ada pengeluaran-pengeluaran yang belum tercatat. Ada video hiking Bali yang belum di-upload. Ada Talks yang belum di-record, edit, dan buat. Ada buku yang belum selesai dibaca. Ada skrip dan kedalaman dari perjalanan ini yang belum ditulis.
Ada banyak tempat yang belum gue eksplor.
Tapi hari semakin sempit.
Minggu depan gue udah pulang.
Dan sekarang gue di sini. Duduk di pinggir kasur. Dengan kepala gatal. Bingung harus menyelesaikan yang mana dulu.
Kemarin sore, gue membeli es krim dan duduk di depan kolam renang. Di kursi kayu goyang itu, gue menyantap sesendok demi sesendok. Manis rasa mangga campur vanilla cukup mendinginkan kepala gue yang berat.
Ternyata, capek juga ya.
Capek juga menghadapi semua ketidakpastian ini. Berpetualang terus menerus. Sambil mencari klien. Sambil menentukan prioritas mana yang harus dikerjakan. Sambil terus meng-upload, tetapi juga berkenalan dengan orang lokal dan memahami kebiasaan mereka.
Projek Mencoba Tinggal ini ternyata nguras energi banget, Pak. Sampai sekarang, kayaknya udah banyak yang gue lakuin, tetapi juga masih banyak yang harus gue kerjain. Gue baru sadar bahwa ada perbedaan besar antara projek Mencoba Tinggal dan petualangan-petualangan gue sebelumnya. Di petualangan sebelumnya, gue hanya kepikiran satu ide cerita, lalu pergi (biasanya untuk mencari jawabannya, atau mendokumentasikan perjalanan itu). Gue menjelajah alam, bikin shoot keren, main dan melakukan kebodohan lain, dan lainnya lagi. Tapi, di projek Mencoba Tinggal ini, ternyata bukan tentang itu. Mencoba Tinggal lebih dari sekadar petualangan dan penjelajahan alam. Mencoba Tinggal, justru bukan tentang hal-hal megah atau alam yang menakjubkan. Di projek ini, gue tidak boleh lagi menggunakan mindset pendatang, turis, atau traveler. Tetapi, seperti namanya, gue mesti mencoba tinggal sebagai penduduk lokal. Gue coba berjalan ke mana-mana dengan sepatu mereka. Menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari, dan menjadi bagian darinya. Mencoba Tinggal adalah tentang bagaimana kita sarapan. Tentang tempat ngopi untuk bekerja. Tentang Indomaret paling dekat dari kosan. Tentang nasi goreng malam hari. Tentang rutinitas-rutinitas membosankan. Tentang apa yang dilakukan di malam minggu. Gosip-gosip tetangga, dan tentang hal-hal yang dekat.
Semalem gue nggak bisa tidur karena mikirin hal ini (ya, bukannya memilih satu dan ngerjain, gue stres dan cuma mikirin semuanya). Gue ngerasa capek dan tidak tahu arah mana yang harus gue datangi duluan. Kayak lagi main game, kondisi map udah terbuka setengah, lalu bingung: apakah gue harus grinding, atau open map baru, atau naikin level dulu? Apakah gue harus kembali menjalani rutinitas yang biasa ini, atau mencoba keluar dan berpetualang kembali. Mencari tahu seperti apa alam Lombok yang belum gue jelajahi karena… jujur aja, gue baru ngerekam dikit.
__
Beberapa hari lalu gue sempat merangkum apa yang dapatkan selama ini. Buat yang belum sempat baca, ini dia rangkumannya:
Perjalanan ke Selong Belanak bikin gue sadar kalau Lombok itu berantakan, tetapi cantik luar biasa. Gue membayangkan Tuhan begitu sembarangan meletakkan semuanya. Taruh bukit di sana. Daratan untuk perkebunan di sini. Sawah di sebelah situ. Bukit-bukit lagi dan, tiba-tiba laut, dengan bebatuan, dengan lembah dan tebing dan apa saja, sesukanya, segembiranya. Dan kita berkendara di antaranya. Seperti tidak tertata, tetapi melihatnya aja udah bikin kagum. Lombok bisa bikin kita nyasar dan tidak paham, tetapi seringkali bikin kita bisa merasakan sesuatu. Apa ini namanya coba kalau bukan karya seni?
Ya, Lombok mungkin karya seni.
Dia adalah karya seni yang diciptakan Tuhan. Dan sewajarnya karya seni, tempatnya seharusnya berada di museum. Mengitari Lombok rasanya seperti mengitari museum. Dan museum, seperti yang kita tahu, biasanya menjadi tempat yang dikunjungi ketika weekend atau hari libur, bukan menjadi rumah tempat beraktivitas.
Tetapi, Lombok punya manusianya.
Lombok punya orang-orang yang menganggapnya rumah, bukan hanya sebagai museum. Ada orang-orang yang lahir, hidup, dan tumbuh mencari nafkah di pulau ini. Mengenal orang-orang Lombok rasanya seperti tahu bagaimana jika ada orang yang tinggal di dalam museum. Mereka, para penduduk museum, tentu aja akan terkena dampak dari karya seni-karya seni yang dekat dari mereka.
Maka, manusia-manusia Lombok pun bermacam-macam. Sebagian besarnya mungkin terpapar Rumi. Mereka agamis, islam, dan sanggup memahami dunia ini lebih luas dari apa yang sanggup dilihat mata.
Tapi, sebagaimana museum, tentu ada karya-karya yang di luar nalar. Mereka yang seperti Banksy, yang diam-diam memberontak dan terhadap peraturan dan kekangan yang selama ini mereka rasakan. Mereka yang berusaha mencari warnanya sendiri. Arti baru dari apa yang selama ini diturunkan leluhur, dalam gelap malam di kamar tanpa ingin diketahui siapapun.
Karya seni penuh kontradiksi, dan begitu pula orang Lombok. Mereka taat agama, tetapi tidak tunduk pada lampu merah. Mereka pencinta alam, sekaligus pembuang sampah yang rajin. Mereka tinggal di kota yang terbilang kecil, tetapi jalanannya lebar. Mereka mengucapkan “Masya Allah” ketika melihat pemandangan menakjubkan, tetapi bikin orang menjerit “Astaghfirullah” saat melihat caranya berkendara. Mereka banyak mengajarkan kebaikan, tetapi tidak menjamin keamanan. Mereka rukun, tetapi juga berjarak dengan yang lain.
Ya, sepertinya itulah cara Tuhan memberitahu kita bahwa Ia begitu detail. Ia tidak hanya memperlihatkan hitam dan putih, tetapi juga campuran keduanya: abu-abu. Atau mungkin biru, orange, atau sage green. Sesekali kuning dan coklat ketika musim kemarau… atau saat orang-orang terlalu rakus mengubah pepohonan menjadi uang.
__
Oh iya, dengan dipostingnya tulisan ini, maka gue akan aktifin fitur eksklusif di Instagram. Keputusan bikin ini lumayan lama gue pikirin. Tapi, akhirnya gue pilih juga sebagai ganti Karyakarsa dan karena fitur paid subscription web ini yang cuma bisa dibayar pakai kartu kredit. Jadi, buat yang kemarin-kemarin udah membership di Karyakarsa, pindah ke Instagram aja yaa. :p
Gue mau coba bikin community yang gampang diakses. Kita bisa banyak ngobrol dan sharing, tapi gue juga nggak takut cerita-ceritanya akan jadi bola liar dan dikonsumsi publik antah berantah. Atau dengan kata lain: komunitas yang aman untuk kita bisa ngobrolin apa aja tanpa filter. Sirkel di mana kita bisa merasa aman untuk ngomongin apa aja dengan bebas. Sirkel untuk ngeluarin warna asli kita. Sirkel untuk kita bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Sirkel… K?
So, maybe let’s make something on Sirkel K?