tentang yang tidak kelihatan bukan berarti tidak ada.
gimana kalau mulai fokus pada delayed gratification ketimbang hal-hal instan?
Kalau ada satu hal yang bisa gue ingatkan ke diri gue di masa lalu, bahkan sampai saat ini adalah ini: delayed gratification.
Teorinya klise. Delayed gratification adalah ketika kita menunda kesenangan sesaat saat ini, untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar di masa depan.
Sebuah ucapan yang sangat… bapak-bapak banget bukan?
Era media sosial ini membuat kita tanpa sadar mencari instant gratification. Kalau lagi bosen, kita buka handphone, pilih salah satu media sosial, lalu scroll sampai bego. Kita mungkin tidak sadar, tapi setiap tarikan jempol kita, setiap timeline kita melakukan refresh dan menampilkan konten baru, itu bikin otak kita menghasilkan dopamin yang membuat kita merasa senang. Yang mungkin kita tidak sadar lagi adalah, respons otak kita terhadap itu sama dengan respons otak ketika berjudi. Hanya dengan sekali swipe, kita excited dan secara tidak langsung berharap, “kita akan dapat konten apa ya?” Kita mencari, dan mencari, hadiah-hadiah berupa konten yang sesuai dengan selera kita.
Dan itu, seperti halnya berjudi, bikin kecanduan.
Efek samping lainnya adalah, kita jadi manusia yang hanya fokus pada hasil-hasil instan. Kita cinta imbalan secepatnya. Kita ingin langsung melihat hasil dari apa yang kita lakukan. Kita benci jangka panjang. Kita malas melihat dan melakukan yang “hasilnya nggak kelihatan”. Bukan. Kita bukan cuma malas melihat dan melakukan, kita bahkan tidak lagi menghargai proses.
Kita tidak lagi melihat value dari sesuatu yang tidak kelihatan.
Kita hanya menghargai apa yang dapat dilihat dengan mata kepala kita secara langsung. Kita pengin setelah mencet tombol buy di Shopee, barangnya otomatis muncul di depan pintu. Kita berharap sekali push up badan berubah kayak Jefri Nichol. Kita benci bosan, keheningan, silence, dan selalu melawannya dengan media sosial.
Ini beracun. Dan lambat laun dampaknya akan merambat ke mana-mana. Kita hidup untuk checklist. Kita suka selebrasi demi menipu diri–seakan kita telah melakukan sesuatu–padahal baru ingin mulai. Kita cinta uang. Kita cinta banget sama uang.
Walter Mischel zaman dulu pernah bikin percobaan Marshmallow. Dia ngumpulin anak kecil, nyuruh mereka duduk, dan di atas mejanya diletakkan satu marshmallow. Dia bilang, “Kalo kalian mau nunggu lebih lama, aku akan kasih satu marshmallow lagi.”
Tentu, nggak semua bocil tahan dengan hal itu. Tapi, bertahun-tahun kemudian, ketika diteliti lagi, bocil yang kini dewasa itu, ternyata punya dua perbedaan: mereka yang sanggup menahan nafsunya untuk langsung makan marshmallow cenderung lebih sukses.
Penelitian ini memang ada kontroversinya. Si Mischel nggak ngecek background bocil-bocil tersebut dan melupakan perbedaan status ekonomi dan pendidikan mereka.
Tapi, seperti yang kita semua tahu, tegukan air pertama setelah seharian puasa selalu lebih nikmat ketimbang hari-hari biasa.
__
Bagaimana kalau gue bilang gini: “Apa yang orang-orang bilang tentang slow living belakangan ini adalah normal living. Orang-orang sekarang aja yang terlalu pengin instan.”
Baca buku bukan slow living. Ikut kursus dan belajar sesuatu bukan slow living. Menyiram tanaman bukan slow living. Bangun pagi untuk masak sarapan sehat sambil menikmati matahari bukan slow living. Jalan kaki ke warung depan bukan slow living. Duduk mengobrol sore-sore di taman bersama orang yang kita sayang bukan slow living. Mengambil napas dan mencoba berpikir jernih sebelum mengambil keputusan bukan slow living.
Itu kehidupan yang normal. Kecepatan yang biasa. Yang dari dulu dilakukan manusia pada umumnya. Itu tidak lambat sama sekali.
Harusnya.
Sayangnya, sekarang kita terjebak dalam sistem yang membuat kita harus terus berlari. Harus terus kelihatan sibuk. Harus terus memikirkan sesuatu. Harus terlihat tergesa-gesa, bahkan di dalam kepala.
Lucunya adalah pikiran kita seringkali begitu penuh tetapi juga merasa sepi. Badan kita bergerak terus, cepat dan berlebihan, tapi kita jiwa kita hampa dan kosong.
Beberapa waktu lalu gue ketemu Aqil, salah seorang kreator yang sekarang bekerja untuk Malaka Project. Setelah setahun tinggal di Jakarta dan pulang ke Jambi, dia merasa ada perbedaan.
“Nggak tahu kenapa begitu pulang ke Jambi di kepala gue kayak pengin cepet-cepet terus. Kayak jadi gemes ngeliat orang, kok, kayak geraknya lambat. Padahal, waktu berjalan biasa aja. Sama aja. Segitu-gitu aja. Gue juga bingung apa ini di kepala gue doang apa gimana. Gue juga nggak tahu gimana jelasinnya…”
Terbiasa menerima instant gratification membuat kita sering tergesa-gesa, panik, dan takut untuk alasan yang tidak ada. Kita terlalu tergesa-gesa sehingga tidak pernah lagi menyelaraskan antara isi kepala dengan apa yang badan kita sedang jalani. Mandi pagi bukan lagi fokus pada hangatnya air dari shower yang mengucur ke punggung, tetapi sibuk mikir nanti sarapan apa. Sarapan bukan lagi memperhatikan rasa dan tekstur dari setiap kunyahan makanan, tetapi sibuk dengan YouTube dari handphone yang disandarkan di gelas. Berangkat kerja bukan lagi memperhatikan jalanan, orang-orang yang ditemui, dan bagaimana angin pagi ini terasa lebih dingin dari sebelumnya, tetapi sibuk membayangkan meeting yang akan dilakukan di kantor nanti. Meeting bukan lagi fokus kerjasama mencari solusi-solusi, tetapi sibuk mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Di jalan pulang sibuk mikir mau makan apa. Sampai rumah tiduran main handphone sampai ketiduran.
Dan begitu lagi, dan begitu lagi, seterusnya.
Beberapa orang yang menjadi korban sistem ini kebingungan mencari jalan keluar, yang lain menjadi rakus, yang sadar–dan licik–memanfaatkan hal ini untuk keuntungannya sendiri.
Menyedihkan ketika manusia adalah produk yang hanya diprogram untuk mencari instant rewards dan immediate result.
__
Tapi, emang susah.
Harus diakui. Susah untuk fokus pada kebahagiaan-kebahagiaan di masa depan di era perhatian kita adalah komoditas bagi banyak produsen dunia. Susah untuk jalan kaki sambil nikmatin suasananya ketika chat Whatsapp dari kantor muncul pukul 7 malam. Susah untuk makan makanan sehat di era tempat-tempat viral dengan kopi hits mahal dan cake manis bertebaran dalam sekali swipe. Susah untuk mengobrol, membuka diri, menjalin obrolan yang intim dengan orang lain ketika standar TikTok diamini banyak orang. Susah untuk menabung ketika self rewards selalu jadi jalan keluar. Susah untuk baca buku dengan tenang jika lawannya adalah video Reels dengan hook bombastis yang bikin mata kita terborgol ke layar.
Susah, tapi gue percaya satu hal.
Gue selalu percaya bahwa yang tidak terlihat sekarang bukan berarti tidak ada. Rutin jalan kaki tidak membuatmu otomatis merasa fit saat itu juga. Efeknya terasa ketika temanmu ngos-ngosan saat naik tangga kantor dan kamu biasa aja. Ikut kursus bahasa tidak akan langsung bikin kamu jago, tetapi kamu akan mensyukurinya saat mendapatkan pekerjaan dari klien luar negeri. Baca buku nggak bikin kamu cerdas mendadak, tapi di masa depan, kamu mungkin akan kaget melihat orang-orang kesulitan mengambil kesimpulan.
Fokus pada delayed gratification berarti mengubur benih, menyiram dan merawatnya sambil menunggu akarnya menguat di dalam tanah, sebelum akhirnya ia berbunga dan dihampiri kupu-kupu.
Apa yang kamu rasakan ketika tanaman itu tumbuh mungkin tidak akan bikin kamu meloncat kegirangan seperti ketika kamu dapat surprise bunga dari pasanganmu.
Tapi, bunga yang mekar setelah kamu tanam dengan sabar,
biasanya hidup lebih lama.
Kalau kamu suka karya gue dan mau kasih sedikit apresiasi, bisa donate di sini:
📝 Yang Gue Lakukan Belakangan Ini:
Kemarin ketemu Gideon dan Alam seharian di GBK. Seru juga setelah sekian lama nggak keluar dan ngobrol sama manusia Hujan, duduk di Tuku, dan ngobrol tentang hal-hal yang nggak banyak orang boleh tahu.
Nemu dua orang keren di internet. Oh, I love when I found them. Berasa kayak punya temen baru padahal kenal juga nggak. Hehehe. Here they are: Anya Karolyn (KARO) si desainer yang anjirlah masih muda keren abis dan kristine yang sederhana ngomong di depan kamera (dan di IG isinya taneman-taneman). Bisa cek mulai dari YouTube-nya, lalu pindah ke Instagram kalau mau follow.
🧠 Yang Gue Pikirin Belakangan Ini:
Kenapa dinamakan “kebijakan” kalau nggak ada bijak-bijaknya?
📸 Foto-foto Belakangan Ini:





