__
Akhirnya bisa ada waktu bikin tulisan ini.
Tulisan ini gue bikin sambil pindah-pindah. Mulai dari Hart Hotel Premium di Cakranegara, sambil berpusing-pusing nyari kosan, di Harmosbrew (satu dari tiga tempat kopi tutup yang gue samperin), dan akhirnya, kosan dekat Universitas Mataram.
Terus terang, sampai gue menulis ini, gue masih beradaptasi dengan Lombok, khususnya Mataram. Gue belum ketemu warteg, nggak punya sendok untuk makan, dan tempat laundry. Gue udah beberapa kali muterin kota Mataram dan masih nyasar. Buat gue, jalanan di sini terlalu lebar untuk manusia yang terlalu dikit. Arul, salah satu temen Lombok yang udah pindah ke Jakarta bilang, “Hindarin daerah Kekalik, Di. Soalnya macet.”
Begitu gue cek, Kekalik adalah satu-satunya daerah yang ada kehidupan. Mungkin macet buat orang sini sama dengan ngerem dikit dah.
Jadi, bisa dibayangin betapa kayak setannya pengendara motor di jalanan ini.
Alasan lain yang bisa gue dapat, selain jalanannya yang emang enak, cuacanya juga lagi, buset, ancur abis.
Gue baca buku pagi-pagi di dapur kos aja badan auto basah keringetan. Belum juga sempet ngapa-ngapain, gue udah keburu lembek di Lombok. Pantes beberapa kali buka TikTok, muncul video meme tentang Lombok yang lebih deket ke matahari ketimbang bumi.
Lombok udah setara Bekasi, Bung.
Anyway, selama beberapa hari ini, gue udah bikin beberapa notes terkait Lombok, khususnya Mataram (yes, I’m judging you. :p).
First thing first, Mataram ini kota yang kecil. Luasnya cuma 60 sekian km2. Cuma setengah luas Denpasar yang 120an km2. Atau hampir sepertiga kandang gue, alias Tangerang Selatan yang 160an km2 itu.
Enaknya kota kecil adalah, ke mana-mana deket. Ini beneran. Ke tempat ngopi enak cuma 10 menit, ke rumah sakit 10 menit, ke Mie Gacoan 10 menit.
Ya, emang nggak ada apa-apa lagi di Mataram.
Well, sebetulnya nggak beneran gak ada apa-apa sih. Bahkan bisa dibilang semua kebutuhan tercukupi. Masjid besar, ada. Tempat untuk lari dan car free day, ada. Mall? Ada Mataram Mall, Transmart, dan yang paling gaul, Epicentrum. Bioskop ada dua. Kampus, rumah sakit, dan pantai juga ada.
Tapi, entah kenapa, setiap gue motoran muterin kota ini… kayak ada sesuatu yang kosong. Yang kurang. Berbeda dengan tempat sepi (alias nggak keramean, nggak crowded), kayak ada rongga yang ngebuat kota ini kurang terisi dengan pas. Entah apa. Faitha, temen kampus gue yang sering dinas ke sini juga ngerasain hal yang sama. “Sebetulnya di Mataram ada semua, tapi kurang opsi kali ya? Pilihannya yang nggak ada.”
Jujur gue masih bingung apakah ini cuma perasaan gue aja yang terbiasa punya banyak pilihan atau gimana. Di Jakarta kita terbiasa punya mall yang kebanyakan, pilihan kafe dengan beraneka ragam jenis, sampai tempat yang kedengerannya gak masuk akal (contoh: tempat di mana kita bisa makan malam sambil nontonin penguin. BUAT APA COBA WEY?!).
Tapi di Mataram… dia punya jalan yang lebar, dan halus.
Dia punya jalan lebar yang dipakai untuk ngebut dan berkhayal tentang apa aja.
Beberapa hari lalu gue nyoba motoran ke utara dari kota Mataram, melewati bukit, mengarah ke tempat orang menyeberang menuju Gili Trawangan, lalu pulang menyusuri pantai sepanjang Senggigi.
Cuma dari perjalanan itu aja, Lombok udah ngebuat gue takjub. Jalanannya (lagi-lagi) yang lebar dan beraspal mulus, ngebuat enak suasana naik motor, karena kondisi alamnya yang ajaib banget. Sepanjang perjalanan, gue berasa kayak di dalam Kebun Raya, tapi nggak ada pintu masuk dan keluarnya. Bahkan di sepanjang Senggigi, yang mungkin bukan pantai favorit bagi orang-orang di Lombok, punya daya pikatnya sendiri. Jalanan yang berlika-liku, naik turun, dengan pepohonan besar di kiri kanan jalan. Ada momennya kita berada di atas bukit bisa melihat ke pantai di bawah sana, ada momennya kita di bawah, berjalan bersama pohon-pohon palem yang tumbuh berjejer, dan orang-orang yang bermain bola di antaranya.
Ketimbang Bali yang didominasi jalan kecil, Lombok kayaknya jauh lebih enak untuk roadtrip menggunakan mobil.
Satu-satunya perasaan kurang enak selama perjalanan itu adalah, gue jadi lupa mengerem. Karena, (lagi-lagi-lagi), jalanannya enak banget, gue malas berhenti. Gue bisa dengan enak menikmati perjalanannya, tetapi ada perasaan takut ketika berhenti. Gimana coba kalo pas gue ngerem, tiba-tiba muncul Valentino Rossi dan nabrak dari belakang?
Yah, ini baru first impression aja sih. Masih ada waktu lumayan panjang untuk benaran kenal orang-orangnya, dan mengerti dari sudut pandang mereka serta melihat Lombok lebih dalam.
So, gue Kresnoadi, sign out.
*brb manasin motor
Selamat menjalani hidup di lombok ya bang
Pokoknya wajib banget keliling pulau lombok
Barat, tengah, timur, utara bisa dikelilingi 1 hari doanh bang 🤣
Dan lo bakal terpesona dengan segala yang Tuhan hamparkan di lombok